"Ngapain beli, Neng! Ginian mah tinggal ambil di kebun kopi Bapak di atas!"
Kurang lebih demikian kalimat Pak Ujang memarahi aku tatkala melihat aku mengisi keranjang sayur dengan bahan makanan yang
baru kubeli dari warung. Banyak macamnya, ada daun bawang, cabai, hingga kubis.
Saat itu aku cuma bisa terdiam dan meminta maaf—serta sejujurnya masih merasa belum
mengerti mengapa Pak Ujang begitu marah.
Hari itu adalah hari ketiga Kuliah Kerja Nyata
Tematik (KKNT) yang aku jalani di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali. Masih
benar-benar baru memulai menyelami kehidupan pedesaan. Impresi pertamaku
terhadap nuansa desa hanya sesederhana; hidup
di desa begitu mendamaikan. Bagaimana tidak, aku melihat jelas masyarakat
Desa Patengan bisa begitu rukun dan bahagia meski jauh dari pusat-pusat
perbelanjaan. Setiap pagi, dengan suhu udara yang selalu di bawah 14º C,
masyarakat baik bapak-bapak maupun ibu-ibu sudah berangkat dengan setelan
lengkap—sepatu boots karet, kaos panjang tebal, dan topi caping—menuju kebun teh
milik PT Perkebunan Rajawali VIII di seantero Kecamatan Rancabali, menjalani
rutinitas kerja di sana hingga senja menjelang. Selepas waktu ashar, aku bisa menyaksikan anak-anak
usia sekolah dasar yang bermain di halaman masjid kampung. Saling kejar-kejaran
dan beradu menangkap tonggeret lebih
cepat, sama sekali tanpa kepala-kepala yang menunduk menghadap smartphone, sebagaimana hal itu biasa
kujumpai di Kota Bogor sehari-hari.
Semakin lama aku berada di Desa Patengan,
anggapanku terhadap kehidupan pedesaan semakin membuatku terenyuh-enyuh. Pernah
suatu hari, aku dan teman-teman KKNT yang lain ikut membantu Pak Ujang dan
istrinya panen kopi milik sendiri di atas bukit. Sungguh, pemandangan dari atas
bukit itu begitu indah. Dalam benakku sebelumnya, desa terindah adalah Desa
Edensor, yang dideskripsikan dengan sangat luar biasa oleh kata-kata megah
Andrea Hirata. Namun, dari bukit kebun kopi Pak Ujang, seluruh imajiku tentang
Edensor seakan runtuh hingga aku menggumam pada diri sendiri, “Dengan ini saya menjamin, Andrea Hirata
belumlah menyaksikan bentang Desa Patengan kala menelurkan Edensor”.