Mau bilang bukannya parno tp gimanaaa emang saya beneran parno. Buka aja kuliah-kuliah dasar soal Spasial, segembling dan sesering itu nunjukkin penurunan luasan hutan Kalimantan. Kenapa? Karena di sana sy kira yg paling masif dan dalam tempo yg cepat. Bagaimana kalau nanti sudah jadi ibu kota? Akan ada berapa banyak dalih kepentingan rakyat buat membuka lahan?
Pemerataan pembangunan itu sy kira engga sekadar soal ibu kotanya ada di tengah atau engga. Tapi lihat, emg dasarnya pendidikan kita yg belum kontekstual, buku-buku IPS sekolah dasar masih mencirikan perkotaan adalah yang "semua serba ada", padahal perkotaan juga lumpuh tanpa pedesaan, kenapa songong banget? Emang dasarnya film-film dan periklanan di layar lebar maupun kecil (alias smartphone) yg serba Jakarta-Centered (kecuali iklannya CSR hehe). Tema cerita selalu "Jakarta: Me, Myself and I", penggunaan bahasa, hingga latar-latar cerita, semua didominasi kejakartasentrisan. Atau soal kesehatan yg di-frame baru terjamin kalau dengan obat kimia buatan pabrik (baca lebih lanjut dalam Codex: Konspirasi Jahat di Atas Meja Makan Kita). Yg dampaknya, masyarakat lebih memilih beli obat pabrikan, konsumtif, daripada berdikari memanfaatkan tumbuhan obat di sekitarnya yang, masyaAllah potensinya luar biasa hebat (bila kita mau lebih mengerti), dsb dsb. Pemerataan pembangunan itu bukan sekadar koordinat.
Sy akui soal pindah Ibu Kota ini saya cenderung subjektif. Berlandaskan kecintaan pada alam, sehingga teori-teori negasinya cuma bikin perut saya mules dan keringatan. Tapi kan kata Lukas Graham, if you love someone and you're not afraid to lose them you probably never love someone like I do. Faktanya kita masih dalam fase berkembang, Kuznet Curve mutlak mengatakan, selama itu pula pembangunan akan selalu menghancurkan lingkungan. Belum layak lah kita kepedean merasa bahwa "yang kali ini" pasti bisa adil antara ekologi dan ekonomi.
Di hutan mangrove Kurau, Bangka. Semoga berkesempatan merasakan hutan mangrove Balikpapan. |
Sayangnya, sepagi tadi, saya mendengar Pak Gubernur mengatakan bahwa "Alam akan merusak dirinya sendiri" agar saya dan sesiapapun yang parno alam akan rusak tidak begitu khawatir. Saya sedih mendengarnya. Bisa-bisanya. Saya malas kalau harus menyebutkan semua dampak buruk campur tangan manusia buat alam. Apa beliau engga tau ya, bahwa dulunya Gurun Sahara adalah mega danau, yang menjadi cikal bakal lahirnya hutan Amazon? Bahwa kolonisasi manusia di sanalah yg mengubahnya seekstrim itu? Anggap saja engga tau. Atau mungkin yang beliau maksud adalah bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus, yang di luar kuasa kita untuk kendalikan? Padahal bencana alam itu bukan bentuk alam merusak diri, melainkan pemulihan diri dan re-updating daya tampungnya sendiri.