Maret, April, Mei, Juni, Juli, dan sekarang Agustus udah mau selesai. Enam bulan. Enam bulan kita semua diplonco sama 2020. Rasanya banyak banget kejadian yang silih berganti menuhin kepala dan hati tapi semua warnanya sama: merah tua, hijau tua, biru tua dan apapun-tua lainnya. Warna-warni, tapi kesannya sama: gelap.
Ada rasa berduka ditinggal kerabat dan relatif. Bahkan ketika sekadar membaca grafik-grafik.
Ada rasa prihatin kala mendengar cerita-cerita dari lorong-lorong rumah sakit.
Ada rasa sedih membaca perjuangan tenaga kesehatan, dokter, dan seluruh pejuang baris depan.
Ada rasa takut menyaksikan orangtua yang harus berjuang di tengah kondisi penuh ancaman.
Ada rasa gamang menatap masa depan, bila kondisi normal saja kecewa sering menyergap, apalagi saat-saat ini?
Ada rasa rindu melihat teman-teman dari social media, berharap bisa kembali bertemu dan berbagi cerita, tertawa maupun tersedu sedan bersama.
Ada rasa geram mendengar kebijakan-kebijakan yang jauh dari kata menyelamatkan.
Ada rasa hancur mengetahui mereka yang bingung bulan depan makan dari mana (apa lagi yang besok makan dari mana)
Ada rasa kesal melihat jalanan yang riuh sesak dipenuhi muda-mudi yang merasa hanya tua pembunuh mereka.
Ada rasa tertekan melihat kalender, teringat usia yang tak lagi remaja. Sedang sumbangsih buat diri sendiri saja masih nihil, boro-boro memberi arti buat negeri.
Ada rasa heran melihat kelompok-kelompok dengan landasan berpikir yang berkebalikan dengan prinsip-prinsip hidup.
Ada rasa sakit ketika harus menghadapi mulut-mulut tajam yang menusuk.
Ada rasa sesak tiap me-recall memori melancong ke sana kemari, entah kapan bisa kembali.
Ada rasa iri melihat kehidupan orang lain dengan segenggam privilese-nya masing-masing.
Ada rasa tercekik menghadapi privasi yang terkungkung.
Ada rasa ciut kala mengetahui pengorbanan-pengorbanan yang dipersembahkan oleh orang lain. Merasa diri belum cukup membuat hidup layak dihidupi.
etcetera.
Tapi, bukankah hidup itu soal kesan yang dibangun?
Tiap kali ingin merutuki nasib, ada aja yang mengingatkan bahwa warna-warna itu juga dialami oleh jutaan manusia lainnya. Bahkan mungkin milyaran manusia lainnya. Ada yang didominasi warna biru gelap atau sedih menghadapi ini semua. Ada yang didominasi warna merah gelap atau penuh amarah menjalani kondisi-kondisi ini.
Semua warna-warna gelap tadi valid untuk dirasakan. Apapun warna gelap yang memberatkan pikiran dan perasaan, seenggaknya, masih ada jeda-jeda kecil yang bikin bersyukur masih diberi hidup.
Jeda-jeda kecil tiap orang juga beda, tapi pasti ada. Kalau belum ketemu, coba kontemplasi, you'll find some. Everyone is facing uncertainties. But everyone also has the opportunity to leave a different impression on it.
Semua warna-warna gelap tadi valid untuk dirasakan. Apapun warna gelap yang memberatkan pikiran dan perasaan, seenggaknya, masih ada jeda-jeda kecil yang bikin bersyukur masih diberi hidup.
Ada keluarga yang lengkap dengan segala harmoninya (kadang sumbang kadang indah). Ada kucing yang menggemaskan tiap saat minta dielus. Ada makanan enak yang bisa setiap hari disantap. Ada air yang bikin ngerasa aman kapanpun kebelet eek. Ada pohon pelangas di halaman yang jadi rumahnya burung-burung kecil tapi berisik. Ada internet yang masih bisa membantu cari ilmu (meski sebagian cuma modal ikut-ikutan dan engga betulan terserap). Ada game-game yang masih belum bisa kita taklukan. Ada netflix untuk nonton film-film estetik seperti Only Yesterday. Ada banyak bacaan yang bisa sejenak bikin lupa warna-warna gelap di hari kita (membaca kisah gelap pun kadang bisa menguatkan, kok). Ada lantai kotor yang harus disapu dan bunga yang harus disiram: olahraga alami karena bikin keringetan. Ada kipas angin yang bisa bikin suara kita ber-vibra kalo nyanyi. Ada kertas dan kuas buat sejenak belaga artsy hehe.
etcetera.
Jeda-jeda kecil tiap orang juga beda, tapi pasti ada. Kalau belum ketemu, coba kontemplasi, you'll find some. Everyone is facing uncertainties. But everyone also has the opportunity to leave a different impression on it.