Ide ini tercetuskan ketika beberapa waktu lalu gue main ke Jakarta. Naik KRL.
***
Ketika di KRL, gerbong campuran khususnya, sebagai perempuan, umum rasanya gue mendapati diri gue diprioritaskan, ya sempitnya, adalah soal tempat duduk. Setiap kita baru masuk gerbong, pasti akan ada banyak yang mempersilakan kita menggantikannya di kursi alias duduk. Itu baik.
Tapi ada sesuatu yang mengganjal yang kemarin itu gue sadari. Sumpah, Setiap di KRL dan gue kebagian tempat duduk, pantat gue rasanya ga pernah bisa duduk dengan tenang sentosa. Rasanya pengen cepet-carpet berdiri. Mata gue pasti berkeliaran, nyari siapa yang kira-kira bisa ngegantiin kursi gue. Ada. Pasti ada yang lebih butuh. Sekali pun laki-laki.
Tek! Dan terbesitlah itu semua. Semacam ilham yang dikucurkan mendadak. Bahwa gue selama ini membenci mereka (baca: para perempuan) yang menganggap menjadi perempuan adalah hak istimewa (privilege) bagi mereka untuk mendapati hidup yang lebih nyaman.
Gue baru sadar bahwa pemandangan ini sering banget gue temui di transportasi umum, khususnya KRL (yang paling sering): perempuan, masih muda, let's say seorang emba-emba, pake masker nyender ke jendela KRL sambil main smartphone, mungkin nonton K-Drama yang semalem belom tamat, dan di depannya ada bapak-bapak, yaaa ga tua renta sakit-sakitan engga, 30-40 tahunan lah, terus bawaannya banyak, keringetnya ngucur deres habis kecapean entah dari mana. Miris. Sering gue liat begitu. Izinkan gue buat judging: Bapak-Bapak kayak gitu itu jauh lebih butuh kursi dibandingkan si mba-mba, cuma karena si Bapak-Bapak ini sadar diri beliau belom tua renta, ga pula cacat, sehingga rasanya sesungkan itu buat minta ke mba-mba gantian berdiri. Sedangkan si mba-mba merasa ya karena dia perempuan, dia punya hak duduk di kursi KRL.
Iya, kan tadi gue bilang izinkan gue judging. Tapi coba pikir. Iya apa iya kalian sering ngeliat kaya gitu juga?
Cuy, jadi perempuan itu bukan kayak gitu ngejalaninnya. Coba ngaca ke dalem diri sendiri, sebenernya kita tu semampu apa sih ngejalanin hal-hal yang merupakan antitesa kenyamanan itu tadi? Berdiri doang di KRL, sejam, dua jam, itu tu bukan apa-apa. Kecuali ya kita hamil, sakit atau memang ngga sanggup. Tapi ini kondisinya kita sanggup. Ngaku aja. Ngaca dulu. Ngaca ke diri sendiri. Tanya nurani. Kita milih buat tetep duduk di KRL itu karena emang kita ga sanggup berdiri atau memang yah enak aja, seneng dapet kursi, selesai.
Gue kalo di KRL, baru masuk, gerbong campuran, terus dipersilakan duduk sama bapak-bapak yang lebih tua dari gue, pasti pertamanya akan gue tolak. Karena gue merasa fine aja kalo harus berdiri. Kecuali beliau tetap "insist" buat duduk, baru mungkin gue akan duduk, karena bisa jadi beliau memang sudah lama duduk, atau sebentar lagi stasiun tujuannya, atau ya memang beliau merasa lebih mampu berdiri.
Huft. Gimana ya, gue lagi susah merangkai frasa-frasa ngejleb sejujurnya sekarang.
Intinya, hal-hal seperti memersilakan tempat duduk buat perempuan, ngebawain barang, bukain pintu, jalan di kanan, memersilakan maju duluan (baca: ladies first), dan lain-lain itu sebetulnya merupakan etika baik (good ethics) yang harus diapresiasi ketika ada di dalam diri seseorang (dalam kasusnya kebanyakan di laki-laki), tapi hal-hal itu bukan sebuah privilege bagi seorang perempuan untuk jadi merasa baik-baik aja mendapatkan semuanya sementara ada pihak-pihak yang lebih membutuhkan hal-hal tadi, baik sesama perempuan, maupun malah laki-laki.
Lihat sekitar kita, girls. Empati. Empati.
Remember, beautiful soul over everything!
|
Gue suka foto ini karena match bangeet ama baju aowkowko |