Feminis Ketimuran

Kejadian ini terbilang udah lama, banget malah. Tapi belakangan gue justru keinget lagi setelah beberapa hari yg lalu gue nonton ini: https://youtu.be/cLlAdebGYis

Gue harap kalian punya cukup kuota untuk nonton itu. Kalaupun enggak, well intinya film pendek itu menceritakan pasangan yg engga bisa lanjut karena masalahnya satu: sama2 punya standar yg beda soal finansial. Yg cowo merasa malu karna engga seberduit si cewe. Si cewe merasa engga dihargai segala jerih payahnya.

Konklusi ini yg kemudian menggiring gue ke sebuah joke dalam lingkaran gue waktu itu. Dimana kejadiannya kita lagi saling bercanda soal laku-lakuan dan jomblo-jombloan. Perannya, as always, dan emang iya, gue yg jomblo dari lahir. Kemudian gue nyeletuk yg intinya, "gua mah apa atuh, butiran cireng, ga ada yg mau". Konteksnya bercanda. Kemudian salah seorang temen gue nimpalin, "bukan butiran cireng, lu nya aja yg ketinggian, jadi cowo2 ogah".

Saat itu gue clueless dan merasa biasa-biasa aja dengan jawabannya. Tp skrg gue bisa bikin pandangan.

Maksud temen gue gue ketinggian jelas-jelas bukan badan gue yang tinggi. Gue 160cm aja harap2 cemas ga nyampe. Tapi yg dia maksud adalah gimana gue ngehadapin urusan-urusan gue. Dlm artian, ambisius, doyan kompetisi, seneng ngomong serius, dan argumentatif. Ah ribet, bahasa sederhananya adalah; gue terlalu hebat utk ukuran perempuan. (Tolong dicamkan kalo itu adalah pandangan dia dengan pembandingnya ya lingkaran2 kami, jgn pada salfok menganggap gue sengak).

Gue yg hari ini merasa heran.

Kenapa sebuah kebaikan itu bisa jadi alasan trhdp keengganan laki-laki? Ah bahasa gue kok kurang aman ya rasanya. Gini lo, kalian juga jangan anggap gue se-desparate itu soal percintaan dan merasa butuh 'diinginkan' oleh laki-laki. Please, gue cuma punya sedikit rasa melankolis, jadi juga jangan pada salah fokus. Gue enggak sedang curhat personal. Ini apa yg gue lihat di kehidupan kita sekarang.

Baik, kita ulang lagi.

Gue yg hari ini merasa heran. Kenapa sebuah kebaikan itu bisa jadi alasan trhadap keengganan laki-laki? Kenapa kok seolah-olah dunia menggiring opini kita bahwa laki-laki harus selalu lebih hebat dari pada perempuan? Iya, gue tau laki-laki memang punya kecenderungan untuk senang merasa dihargai, merasa bangga ketika ada yg bergantung, ada yg diayomi sebagaimana perempuan juga punya kecenderungan senang merasa aman, merasa punya tempat bergantung dan berteduh. Tapi apa iya itu semua hanya terbatas urusan pekerjaan dan keuangan dan kemampuan berbicara dan kesempatan melancong dan......

lain lain?


Alangkah angkuhnya laki-laki dan menderitanya perempuan jika dunia memang diset demikian. Apa iya, kelebihan-kelebihan perempuan itu serta merta akan menurunkan derajat laki-laki yang Allah saja sudah tetapkan sebagai pemimpin atas perempuan? Apa iya, kelebihan-kelebihan istri misalnya, akan mengubah peran suami dalam pengambilan keputusan-keputusan rumah tangga? Sehingga ujung-ujungnya perempuan yang harus nahan-nahan hati atas kesempatan yg mereka punya?


Padahal, buat gue pribadi, di era sekarang ini. Era ketika ilmu mawaris lebih sedikit yang tau dan lebih banyak yg mengkritisi (iya loh, banyak bukan yang engga ngerti kenapa laki-laki jatah warisnya lebih banyak dari perempuan?), perempuan memang sudah selayaknya bekerja. Oke gue perhalus, selayaknya mengikhtiarkan untuk bekerja. Pertama, dengan punya penghasilan sendiri, perempuan bisa memenuhi kebutuhan dirinya yang rasanya engga perlu dibayarkan suami. Maksud gue, pleaselah, masa iya udah nanggung duit spp dan susu anak, laki lo mesti harus nanggung duit skincare SK-II elo? Kedua, dengan punya penghasilan sendiri, perempuan bisa membantu keluarga besar (letsay yg bukan dari sebelah suaminya) ketika membutuhkan. Ini sama sekali bukan berarti gue menuduh suami2 itu pasti org pelit dan gasuka berbagi. Melainkan, ketika perempuan; ponakannya misal, butuh bantuan, alangkah lebih tenang rasanya ketika dia bisa membantu seikhlasnya dari kantongnya sendiri. Termasuk juga ketika menghadiahi sepupu, atau malah bisa menghadiahkan suami sendiri. Bukannya enak ya begitu? Ketiga, kita engga pernah tau sama yang namanya usia. Usia kita sendiri, usia orang tua kita, usia suami kita, dan usia pernikahan. Gue engga sedang minta kalian ngomong "hush Rizka, mulutnya". Tapi gue pengen kita semua sama-sama bisa realistis optimis buat masa depan kita masing-masing.

Terakhir gue pengen bilang, kita jangan pernah lupain konsep rizki yg udah Allah atur. Selama kita ikhtiar. Kerja keras. Kerja cerdas. Lepas aja, yakin, bahwa memang ini yg sudah ditetapkan buat kita masing-masing. Dan artinya itu pula yang jadi ujian buat masing-masing kita. Bukannya nanti di hari akhir kita semua pasti hanya akan sibuk dengan diri kita sendiri-sendiri? Kalau sudah sama-sama punya iman demikian, apalagi yang perlu jadi soal?

Gue tau mungkin ada juga yang engga setuju dengan pandangan ini. Well gue bukan gitasav yang kepengennya kalian semua setuju sama tulisan gue dan kalo engga gue ngejulid dan merasa kalian semua kurang piknik haha. Buktinya ya mungkin dari hal-hal begini gue sering diledek feminis. Ya gapapa, feminis ketimuran. Bangga kali malah, biar kayak Fatima Al-fihri. Gue nulis begini jangan juga nanti diceng-cengin siap nikah lah apa lah, engga suka gue tu. Kan gue cuma butiran cireng haaa. Biarkan aja pandangan-pandangan gue soal hidup mengalir sebagaimana umur gue yg juga terus bergerak. Gue, elo, kita semua, sama-sama terus belajar jadi dewasa.


Primajasa, 24 Agustus 2018

Rizka Nurul Afifa

Gue yg merasa masih bocah

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hai kenalin! Gue Rizka, sekarang mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB. Gue sukanya banyak, salah satunya adalah nulis dan makin kesini gue makin menyadari ada banyak hal dalam hidup ini yang kadang perlu dikritisi, didukung, atau disebarluaskan. Makanya blog adalah tempat yang gue rasa tepat untuk menyalurkan semua itu. Sambil sesekali bisa jadi tempat gue berbagi cerita. Salam kenal dan selamat membaca!

0 comments:

Post a Comment