Belakangan ini gue lagi bener-bener lack of motivations banget. Maunya santai doang, maunya main doang, maunya enak-enak aja pokoknya. Kacau. Entahlah, gue kayak dikit-digit ngerasa "Ah, emang kalo gue ngerjain ini (baca: hal-hal produktif seperti mengoreksi laprak wkwk), bakal ngaruh buat bantu kehidupan gue setelah kampus?". Salah, iya, jelas salah. Tapi, ya, jujur aja, itu yang gue rasain. Padahal, kenyataannya yang harus gue selesaikan yaa ada aja (untuk enggak bilang banyak ya).
Tadi pagi habis beres kuliah, berawal dari mau bantuin bikin blog, gue jadi ngobrol sama salah seorang teman kelas. Nuril namanya. Gue ini selalu seneng ngobrol sama Nuril. Meskipun berisiknya amit-amit (wkwk maaf, Ril), tapi sering kali gue malah nemuin titik-titik terang yang selama ini ketutupan lewat nyelenehnya pemikiran Nuril ini.
Ah, ceritain sedikit deh soal temen gue satu ini. Hal yang paling mencolok adalah, Nuril merupakan satu dari sangat amat sedikiiiit remaja putri di dunia ini, di masa sekarang ini yang enggak punya instagram, atau twitter, atau media sosial lainnya yang semacam sengaja diciptakan untuk mengumbar-ngumbar apa yang sedang kita lakukan. Once I knew it, I've marked this person. Keren aja. Mengimplementasikan apa yang Ali bin Abi Thalib pernah bilang (anjay segala pake Ali), kata Ali, kamu tu nggak perlu ngejelasin kamu siapa, toh orang yang ngebenci kamu gabakal percaya dan orang yang suka kamu juga gabutuh. Salut, Ril! Kok bisa tahan gitu dimana hampir semua cewe-cewe masa sekarang berlomba-lomba buat foto selfie paling shining shimmering splendid, berlomba-lomba buat bikin caption paling lit (tambah emoticon fire di belakangnya hehe), Nuril bisa se-bodo amat itu buat enggak ikut-ikutan. Buat gue cool aja, istiqomah dalam prinsip yang dia pilih, a pro of be-yourself worshiper haha.
Credit: @qurandansenja |
Pernah dulu gue tanya, "Ril, cita-cita lu apa sih?" Jawaban dia singkat, "Cita-cita itu untuk diwujudkan, Ka, bukan buat diumbar." Boom!
Atau dulu, dia juga pernah bikin gue jleb banget dengan kalimatnya yang begini, "Ka, jangan terlalu khawatir sama apa-apa yang belom hak lo untuk khawatirkan." Gila ga tuh, hati gue hancur tapi ngangguk-ngangguk. Iya, Ril, iyaaa (sambil nangis-nangis ngelap ingus).
Tadi juga sempet-sempetnya dia nge-quote, "Hati-hati, Ka, yang tadinya temen curhat sangat potensi buat jadi bahan curhat." Gue nggak ngerti itu ledakan-ledakan spontanitas kayak gitu ilhamnya dari mana wkwk.
Singkatnya, tadi pagi gue ngobrol soal, yaa banyak hal lah. (Tulisan ini sudah hasil kolaborasi dengan obrolan dalam kepala gue sendiri, ya). Gue, ya tadi, belakangan ngerasa jauh banget dari semangat, ngerasa hari-hari gue yaudah gitu-gitu aja. Pagi ke pagi lagi. Bobo ke bobo lagi. Tapi, di satu sisi gue juga "heran" gitu sama orang-orang, how could they have such a big spirit. Jujur aja gitu, ada suatu undescribable envious yang bercokol dalam hati gue tatkala melihat instastories orang-orang. Ada yang lagi-lagi juara ini-itu, ada yang bikin karya video ini-itu, ada yang ikutan kegiatan ini-itu, ada yang bisnisnya makin kesini-kesitu, ada yang penelitiannya sudah begini-begitu, ada yang organisasinya disini-disitu, ada yang magang disini-disitu, yah dan kegiatan-kegiatan sejenisnya yang selalu nongol 24 jam di timeline instagram. Bukan iri yang dengki dimana gue kepengen mereka jatuh gitu sama sekali bukan, gilak, setan kali gue. Sumpah, gue seneng banget liatinnya. Cuma aduh susah banget ngedeskripsiinnya (makanya gue sebut tadi indescribable envious), kayak ada sudut hati gue yang mendadak sendu dibalik itu semua. It says: Kenapa bukan gue yang punya mimpi-mimpi, kesibukan, dan segala kerja keras itu?
Sedangkan posisinya gue di sini, bahkan untuk menuntaskan kewajiban-kewajiban aja rasanya engga ada daya upaya sama sekali. Memandang jurnal praktikum aja perut gue kayak langsung mual entah kenapa, apalagi membaca notifikasi grup bimbingan skripsi. Susah gitu lo rasanya buat jadi bahagia, bawaannya lesu, suntuk (sumpah ini random wkwk, tapi kok gue jadi kepikiran kucing dikebiri begini kali ya menjalani sisa hidupnya :(, ngerasa enggak ada semangat membara dan ngadepin sesuatu teh kaya yang yaa paling gitu-gitu lagi.
Apalagi ketika ditanya, habis lulus mau gimana? Aduh please ah, rasanya gue pengen kuchiyose no jutsu habis itu kabur naik kodok. Hufttt.
Nuril menanggapi gue, dia bilang yang intinya,
"Gue tu baru-baru ini nyadar sesuatu, Ka. Selama ini, kita sering diarahkan buat berdoa, buat meminta, agar kita diberi ini-itu, urusan kita jadi begini-begitu, yang sebenernya secara garis besar, ya kita tu cuma minta buat dikirimkan terus kebahagiaan demi kebahagiaan."
Gue mendengar.
"Kita sering lupa, seberapa sering coba, Tuhan ngasih kita berkah ini-itu, rejeki ini-itu, tapi buktinya kita enggak kunjung bahagia-bahagia. Habis itu kita minta lagi sama Tuhan, yang lebih-lebih, Minta ini-itu yang baru. Aneh, kan? Jangan-jangan doa kita yang salah, Ka. Kenapa coba kita nggak berdoa, ya Tuhan, sederhanakanlah caraku memaknai kebahagiaan. Standarnya yang disederhanakan, bukan faktor luarnya yang ditingkatkan."
Ngedenger itu rasanya hati gue mencelos. Bener juga, ya, Ril. Bener banget.
Katanya lagi, "Lu bayangin, betapa nikmatnya ketika Tuhan mengizinkan gue bahagia hanya dengan ngelihat bayangan-bayangan yang memanjang sendiri dan bantet sendiri, ketika gue jalan membelakangi matahari. Sesederhana itu."
Gue diem lagi. Benerrrr banget. Bukankah ketika kita ngerasa bahagia atau enggak, di situ ada campur tangan Tuhan dalam hal perizinannya. Tuhan yang pada akhirnya memutuskan, dengan hal A apakah kita akan bahagia atau tidak. Mungkin selama ini doa gue masih sekadar minta ini-itu biar bisa bahagia, tapi lupa minta disederhanakan standar kebahagiaannya. Gue mungkin masih memandang ya yang bahagia itu ketika lo bisa ikut ini-itu, yang sibuknya sampe begini-begitu dan lain-lainnya sebagaimana gue sebutkan tadi di awal. Mungkin gue lupa, nggak ngerasa, nikmatnya bisa ketawa ngakak ketika melihat postingan-postingan receh misalnya, nikmatnya nemu berkah pete dalem nasi goreng yang harusnya ngga ada pete-nya misalnya, nikmatnya minum air sampe glegek-glegek kerasa di kerongkongan, dan berjuta hal-hal sederhana lainnya.
Enggak. Postingan ini bukan buat mengharamkan kalian (atau gue sendiri) dari merasa the world is fighting against you, cause sometimes it is. Karena gue juga benci sama orang yang ketika dicurhatin, malah seolah enggak denger yang kita ceritain apa, melainkan nge-judge kita kurang bersyukur menghadapi hari-lah, nge-judge kita berlebihan-lah. Ew banget. Ini bukan itu. Ini soal gimana lo mengubah sasaran "ngemis" lo selama ini sama Tuhan. Dari yang sebelumnya lo tu minta buat dibahagiakan, sekarang coba minta biar cara lo ngeliat kebahagiaan itu yang dimudahkan.
Ngerti kan? Ngerti kan?
Sekian.
ABOUT THE AUTHOR
Hai kenalin! Gue Rizka, sekarang mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB. Gue sukanya banyak, salah satunya adalah nulis dan makin kesini gue makin menyadari ada banyak hal dalam hidup ini yang kadang perlu dikritisi, didukung, atau disebarluaskan. Makanya blog adalah tempat yang gue rasa tepat untuk menyalurkan semua itu. Sambil sesekali bisa jadi tempat gue berbagi cerita. Salam kenal dan selamat membaca!
Sukak banget!
ReplyDelete