Aula berdenging. Bukan, bukan suara mic. Bukan hujan. Bukan pula
lebah. Ini dengungan suci. Ini dengingan Quran dari setiap mulut-mulut kami. Ada
yang menghafal, ada yang membaca, ada yang menyetor ayat, atau sekedar murojaah.
Rutinitas selepas Maghrib yang kami lakukan. Rutinitas yang—jujur saja—sebagian
dari kami masih berat melaksanakannya. Rutinitas yang—jujur saja—kami masih
ogah-ogahan. Padahal kami semua tahu, semata-mata kegiatan itu demi meraih
ridho Ilahi. Tabungan masa depan. Kami semua tahu.
Malam itu.
Ustadz Muhib, ‘guru besar’ kami tiba-tiba berbicara. Jika kau
ada disana malam itu, kau bisa mendengarnya dengan jelas. Betapa suara Ustadz
Muhib bergetar hebat. “Afwan anak-anak. Hentikan sebentar.” Aula yang tadinya
berdenging, kini senyap. Kepala-kepala yang sebelumnya tertunduk menghadap
Quran serentak terangkat, mengalihkan penglihatan ke Ustadz Muhib. “Ustadz baru
dapat informasi… Saudara kita, Kakak kelas antum, Adik kelas antum, Sahabat
antum, Farahdita baru saja dipanggil Allah.” Ujung suara Ustadz Muhib tidak
lagi terdengar. Redam oleh tangisan kami yang tumpah seketika. Sesak rasanya.
Malam itu.
Kami kehilangan seorang teman. Seorang sahabat. Teman sekelas
kami. Farahdita Dwi Riska. Tepat pada Minggu, sebelum kepulangan kami ke rumah
masing-masing. Berlibur. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit
Salak, Bogor, tepat di ruangan ICU. Kata Dokter, virus tipus itu menyerang
hingga ke batang otaknya. Sebelum dibawa ke rumah sakit, bobot tubuhnya turun
sebanyak 8 kg. Farah sakit. Hanya sakit. Ia akan sembuh secepatnya, dan
kembali bersama kami. Itu piker kami sebelum mendapati berita malam itu.
Malam itu.
Mama Farah bergegas terbang ke Bogor. Tunggu, terbang? Ya,
kampong halaman Farah ialah Riau. Ribuan km terpisah dari tempatnya menuntut
ilmu. Kawan, mungkin kita semua berpikir, membayangkan, bagaimana perasaan
Mamanya Farah? Kehilangan anak bungsunya. Perempuan satu-satunya. Bagian darah
dagingnya. Sementara ia tak bisa menemani. Kita semua berpikir demikian. Tapi,
Kawan, asal kalian tahu, Farah pergi ditemani orang-orang yang amat
mencintainya. Beberapa teman kami yang sedang giliran menjaga, guru-guru, muadib/ah,
orangtua FOSIS, yayasan, beberapa alumni. Farah tidak sendiri malam itu. Ia
dikelilingi aura suka cita dari orang-orang disisinya.
Malam itu.
Allah menagih apa yang telah Ia pinjamkan selama ini. Yang Ia
titipkan.
Seseorang yang telah menjadi bagian dari hidup kami.
Ya Allah.
‘Waktu’ memang tak mengenal usia. Tempat. Cara.
Tanpa pandang bulu, izroil mencabut siapa-siapa yang telah
digariskan.
Tanpa peduli akan mimpi-mimpi yang belum tercapai. Betapa
Farah ingin sukses dalam LKMA 2015 kita. Ia amat ingin ke Jepang. Bersama
kami.
Tanpa melirik perasaan perasaan yang masih terkubur.
Malam itu juga kami berdoa.
Ya Allah.
Berikan Farah singgasana tercantik di Surga-Mu. Perkenankan
ia berenang-renang di Danau Susu itu. Berikan ia mahkota termewah daripada
mewahnya semua penguasa bumi. Biarkan Farah bercengkrama dengan Fatimatuz Zahra
dan ayahnya. Izinkan Farah menyaksikan kami disini dengan bahagia. Kami keluarganya.
Ya Allah, karena atas-Mu kami mencintai Farah.
“DAN CUKUPLAH KEMATIAN ITU MENJADI NASIHAT BAGIMU-“
Ps: Far, nanti kita semua reunion di Surga ya!
ABOUT THE AUTHOR
Hai kenalin! Gue Rizka, sekarang mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB. Gue sukanya banyak, salah satunya adalah nulis dan makin kesini gue makin menyadari ada banyak hal dalam hidup ini yang kadang perlu dikritisi, didukung, atau disebarluaskan. Makanya blog adalah tempat yang gue rasa tepat untuk menyalurkan semua itu. Sambil sesekali bisa jadi tempat gue berbagi cerita. Salam kenal dan selamat membaca!
Rizka T^T sedih aku bacanyaa :'
ReplyDeleteIya, kak... Sama. Doain Farah ya kak
ReplyDeleteIya, kak... Sama. Doain Farah ya kak
ReplyDelete