Resensi Jujur Novel "O" Karya Eka Kurniawan
Akhirnya aku kesampean beli novel karangan Eka Kurniawan lagi. Kali ini judulnya, "O". Setelah sebelumnya cuma bisa ngelus-ngelus itu novel di toko buku. Enggak lain enggak bukan karena harganya yang bikin sesek napaaasðŸ˜ðŸ˜. Seratus ribu lebih, 124ribu apa kalo ga salah. Menurut aku harga segitu untuk novel Indonesia kemahalan bangetttt (tdq nasionalis wkw😅). Ya kan kalo novel impor masih wajar gitu kan, bahasa inggris langsung karya si penulisnya langsunggg tanpa edit-edit, tanpa terjemah-terjemah kaku tanpa keindahan diksi, lah ini kalo indonesia kan segitu bisa untuk beli 2 buku normal sekalian hehehe. Tapi akhirnya rejeki itu datang, harbolnas kemarin (Hari Belanja Online Nasional, 12 Desember 2016), novel O aku sanggup beli karna dapet potongan 70%. GILAKANN, TUJUH PULUH PERSEN TJOY! Tapi ternyata buku2 yang aku pesen di harbolnas itu datengnya super lamaa, dan baru tiba menjelang UAS kemaren. Nggak mungkin kan orang-orang yang lain pada belajar aku malah baca novel😅. Jadinya, semua novel malah aku bawa liburan.
Dan yes singkatnya, tadi siang aku baru namatin O karya Eka Kurniawan. Dan entah kenapa kepikiran aja gitu mau sok sokan review. Padahal bukan pengamat.
“Cinta dan ketololan seringkali hanya masalah bagaimana seseorang melihatnya” (hlm. 216)
Kenapa Pengen Banget Punya Novel O
Sebenernya sederhana, karena itu Eka Kurniawan, dan karena itu O (wkwkek apesih😂). Aku pertama kali baca tulisannya Eka Kurniawan itu yang judulnya Corat-Coret di Toilet, waktu itu dapet gratis karna dihadiahkan seorang teman hehe. Dan dari buku itu aku langsung jatuh cinta sama Eka Kurniawan. Suka banget gaya menulisnya yang bebas tapi tajaaam. Kena banget gitu. Terus ada Lelaki Harimau, tapi sumpah yang itu licin paraaah, gue ngerasa terlalu kecil buat review lalala-nya. Dan untuk novel O kali ini karena emang hebat banget sih marketingnya. Judulnya cuma satu huruf. Bahkan banyak yang bingung itu bacanya O atau nol atau kosong atau bulet wkwk. Dannn, sinopsisnya cuma satu kalimat;
Tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan Kaisar Dangdut.
Udahh, gitu doang. Mungkin seharusnya orang biasa malah jadi males kan, karena covernya yang childish abis gitu. Tapi kalo kamu udah tau Eka Kurniawan, pasti justru dibuat mati penasaran. Pengen tau apa yang sebenernya yang dimaksud Eka dibalik Seekor monyet yang ingin menikah dengan Kaisar Dangdut-nya.
Resume
Tersebutlah sekumpulan monyet di daerah Rawa Kalong yang memiliki kepercayaan bahwa seluruh monyet di dunia ini sebelumnya merupakan ikan sebagaimana suatu waktu monyet dapat berubah menjadi manusia. Cerita ini terus menerus diwariskan oleh para tetua kepada monyet-monyet muda Rawa Kalong. Mereka menceritakan kenyataan seorang leluhur mereka, Armo Gundul, yang benar-benar bisa berubah menjadi manusia. Semua monyet percaya akan hal itu. Namun mereka tidak benar-benar menganggap bahwa diri mereka mampu menjadi manusia. Sebab perjuangan menjadi manusia tidaklah mudah. Banyak dari kawanan Rawa Kalong yang tewas selama perjuangan itu hingga sedikit demi sedikit mereka mulai melupakaan keyakinan tentang menjadi manusia. Namun ada seorang (sebab ia kurang pantas ku sebut seekor) monyet yang nyalinya tak pernah padam untuk mimpi tersebut, ialah Entang Kosasih. Hampir seluruh monyet Rawa Kalong menganggap Entang Kosasih gila kecuali O, kekasihnya.
Dan selebihnya adalah kisah perjuangan O menjadi manusia hanya demi melanjutkan kisah cintanya bersama Entang Kosasih yang kini telah diyakini menjadi seorang Penyanyi Dangdut, Kaisar Dangdut. Sebab menjadi manusia serta merta menjadikan Entang Kosasih lupa bahwa ia dulu adalah monyet, sebagaimana monyet yang jelas-jelas 'lupa' bahwa mereka dahulunya adalah ikan.
Bagaimanaa? Menarik kan? Terkesan fantasi padahal sejatinya penuh filosofi.
"Kau tahu, semua makhluk hidup dengan alat pembunuh, tanpa itu mereka tak akan bertahan di dunia ini (hlm 233)
Resensi Jujur
Novel O ini sepertinya novel terlama yang aku baca. Dengan tebal 470 halaman, aku membutuhkan waktu hampir seminggu. Itu pun tanpa jadwal kuliah dll alias libur. Kenapa? Sebab butuh perjuangan yang cukup lama sejujurnya untuk menemukan nyawa dari novel ini. Awalnya aku bahkan sempat menyesal karena membeli novel 'fabel' nggak jelas begini. Tapi sedikit demi sedikit aku coba lanjutkan. Satu kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf hingga akhirnya aku menemukan sesuatu yang bikin nggak bisa berhenti sebelum tamat.
Novel O ini novel pertama yang aku baca dengan isi berupa potongan-potongan kisah YANG SINGKAT SEKALI. Makanya diawal mungkin pembaca merasa bingung, karena butuh tempo yang lama untuk menyatukan semua potongan-potongan itu menjadi sebuah gambaran luas. Tapi aku merasa justru sebetulnya itulah daya tariknya. Unik. Pembaca berhasil dibuat penasaran oleh Eka di setiap potongan-potongan ceritanya. Misalnya, di paragraf a, sebuah revolver milik polisi bernama Sobar berkisah bagaimana tuannya memerlakukan dirinya begitu baik, menumpas segala keberingasan preman kakap, Toni Bagong. Namun kemudian ia berkisah kembali, bahwa kala itu, tuannya telah membunuh seorang tanpa dosa. PENASARAN SIAPA YANG DIBUNUH, EH TAUNYA PARAGRAF SELANJUTNYA MALAH NGEBAHAS YANG LAIN. Tapi justru tentunya paragraf selanjutnya itu adalah jawaban dari pertanyaan kita sebelumnya, entah yang mana. Demikianlah Eka berhasil membuat kita mau tidak mau menuntaskan seluruh kalimat dalam bukunya.
Selain itu, O juga kayaknya novel pertamaku yang tokohnya super duper banyak, tapi enggak bikin pusing. Beda banget sama waktu baca Allegiant tuh kan banyak juga tuh tokohnya, tapi sumpaaah ribet bangeeet, baru baca sepuluh halaman ke depan, eh ngerasa ada tokoh baru, padahal dari kapan boa udah nongol si tokoh teh wkwkwkw. Atau gue aja kali ya yang kebegoan?
Kalo di O, semua tu pas pada porsinya. Bisa disebut semi-fable sih kata aku mah. Karena melibatkan semua 'jenis makhluk', mulai dari manusia, monyet, ikan, anjing, sampai-sampai si revolver tadi. Semua punya pandangan yang beda-beda tapi tetap dalam satu frame. Dan, keterkaitan antar satu tokoh dengan tokoh lainnya juga luarbiasa cerdas! Wajar kalau di halaman terakhir tertulis 2008-2016 yang jelas-jelas merupakan rentang waktu Eka Kurniawan merampungkan masterpiece-nya. 8 TAHUN COOOEY! Aku jadi ngerasa receh banget pas nyadar, pengen beli buku semurah-murah mungkin tapi enggak ngerasain perjuangan menulis mahakarya kayak gitu juga berattt
Yang membuatku selalu menggeleng-geleng tiap kali membaca karya-karya Eka adalah; jika penulis-penulis lain mampu melahirkan sebuah cerita lewat kalimat-kalimat indah, maka Eka, setiap kalimatnya sendiri telah mengandung lebih dari satu cerita. Lebih dari satu cerita inilah yang kemudian mewujudkan suguhan luaaarbiasaaaa!
“Ia tidak peduli mereka bisa melakukan apapun yang mereka inginkan. tapi mereka tak akan menangkap seseorang hanya karena tidur di waktu tidur, shalat di waktu shalat, dan pergi kerja di waktu kerja.” (hlm. 178)
Makna
Dari segi makna, rasanya memang nggak akan terasa lengkap kecuali kita baca sendiri. Tapi secara garis besar, lewat O, Eka hendak menyampaikan betapa manusia itu sebetulnya sumber segala kekacauan yang lahir. Namun mereka sendiri tidak menyadari bahwa hal itu pula yang pelan-pelan menggiring mereka menjadi bangkai, untuk kemudian dilempar ke pembuangan sampah sudut kota, untuk kemudian lagi diludahi anjing borok.
Dan di sepanjang garis besar tadi, banyak garis-garis kecil yang merupakan percabangan falsafah-falsafah kehidupan. Tentang cinta dan kepercayaan, tentang keterlanjuran dan penyesalan, tentang mimpi dan nyali, tentang dendam dan rindu. Yang lebih membuatku terkejut adalah Eka berhasil menyelipkan nilai-nilai spiritual seperti menghadirkan tokoh kyai, burung beo yang pandai mengaji lagi mampu memaknai tujuan kehidupan ini. Ah, semuanya begitu ciamik dikemas dalam satu wadah bersampul biru ini.
Terakhir, aku selalu bilang ke semua orang yang menjumpai masalah atau apa, bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki sisi positif dan negatifnya. Apapun itu, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Begitu pula kala kita membaca sebuah buku. Tentu ada banyak sekali penulis-penulis yang mungkin konsep berpikirnya tidak seperti kita, tapi kemudian, jadilah pembaca yang bijak. Mengambil setiap makna-makna positif dan jadikan itu sebagai motivasi-motivasi mulia menjalani kehidupan. Serta untuk hal-hal yang mungkin tidak sesuai dengan kita, jadikan pula sebagai pelajaran, entah untuk tidak menjadi seperti itu, entah dengan penyadaran bahwa banyak orang-orang di luar sana yang tidak se-tercerahkan diri kita, entah apa pun itu. Aku yakin, kalian mengerti. Dan berlakukan pula hal itu untuk buku ini.
Terakhir lagi wkwkwk, sebagai generasi muda, jangan bangga kalau cuma baca novel hehe *menikam jantung sendiri* Persering juga baca berita. Dan pastinya buku diktat kuliah! Wkwkwkw JANGAN CUMA BACA SLIDE OY! *menikam jantung sendiri lagi*
Segitu dulu, ya. Maaf ya kalo banyak salah-salah, ya.
Salam sayaaaaangg kaliaaaaannn semuaaaaaaa,
Rizka Nurul Afifa
Dan yes singkatnya, tadi siang aku baru namatin O karya Eka Kurniawan. Dan entah kenapa kepikiran aja gitu mau sok sokan review. Padahal bukan pengamat.
“Cinta dan ketololan seringkali hanya masalah bagaimana seseorang melihatnya” (hlm. 216)
Kenapa Pengen Banget Punya Novel O
Sebenernya sederhana, karena itu Eka Kurniawan, dan karena itu O (wkwkek apesih😂). Aku pertama kali baca tulisannya Eka Kurniawan itu yang judulnya Corat-Coret di Toilet, waktu itu dapet gratis karna dihadiahkan seorang teman hehe. Dan dari buku itu aku langsung jatuh cinta sama Eka Kurniawan. Suka banget gaya menulisnya yang bebas tapi tajaaam. Kena banget gitu. Terus ada Lelaki Harimau, tapi sumpah yang itu licin paraaah, gue ngerasa terlalu kecil buat review lalala-nya. Dan untuk novel O kali ini karena emang hebat banget sih marketingnya. Judulnya cuma satu huruf. Bahkan banyak yang bingung itu bacanya O atau nol atau kosong atau bulet wkwk. Dannn, sinopsisnya cuma satu kalimat;
Tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan Kaisar Dangdut.
Udahh, gitu doang. Mungkin seharusnya orang biasa malah jadi males kan, karena covernya yang childish abis gitu. Tapi kalo kamu udah tau Eka Kurniawan, pasti justru dibuat mati penasaran. Pengen tau apa yang sebenernya yang dimaksud Eka dibalik Seekor monyet yang ingin menikah dengan Kaisar Dangdut-nya.
“Kata Tetua Monyet, Kau Hidup
terlalu tua sampai tak bisa melihat selalu ada banyak jalan untuk segala
sesuatu” (hlm. 233)
Resume
Tersebutlah sekumpulan monyet di daerah Rawa Kalong yang memiliki kepercayaan bahwa seluruh monyet di dunia ini sebelumnya merupakan ikan sebagaimana suatu waktu monyet dapat berubah menjadi manusia. Cerita ini terus menerus diwariskan oleh para tetua kepada monyet-monyet muda Rawa Kalong. Mereka menceritakan kenyataan seorang leluhur mereka, Armo Gundul, yang benar-benar bisa berubah menjadi manusia. Semua monyet percaya akan hal itu. Namun mereka tidak benar-benar menganggap bahwa diri mereka mampu menjadi manusia. Sebab perjuangan menjadi manusia tidaklah mudah. Banyak dari kawanan Rawa Kalong yang tewas selama perjuangan itu hingga sedikit demi sedikit mereka mulai melupakaan keyakinan tentang menjadi manusia. Namun ada seorang (sebab ia kurang pantas ku sebut seekor) monyet yang nyalinya tak pernah padam untuk mimpi tersebut, ialah Entang Kosasih. Hampir seluruh monyet Rawa Kalong menganggap Entang Kosasih gila kecuali O, kekasihnya.
Dan selebihnya adalah kisah perjuangan O menjadi manusia hanya demi melanjutkan kisah cintanya bersama Entang Kosasih yang kini telah diyakini menjadi seorang Penyanyi Dangdut, Kaisar Dangdut. Sebab menjadi manusia serta merta menjadikan Entang Kosasih lupa bahwa ia dulu adalah monyet, sebagaimana monyet yang jelas-jelas 'lupa' bahwa mereka dahulunya adalah ikan.
Bagaimanaa? Menarik kan? Terkesan fantasi padahal sejatinya penuh filosofi.
"Kau tahu, semua makhluk hidup dengan alat pembunuh, tanpa itu mereka tak akan bertahan di dunia ini (hlm 233)
Resensi Jujur
Novel O ini sepertinya novel terlama yang aku baca. Dengan tebal 470 halaman, aku membutuhkan waktu hampir seminggu. Itu pun tanpa jadwal kuliah dll alias libur. Kenapa? Sebab butuh perjuangan yang cukup lama sejujurnya untuk menemukan nyawa dari novel ini. Awalnya aku bahkan sempat menyesal karena membeli novel 'fabel' nggak jelas begini. Tapi sedikit demi sedikit aku coba lanjutkan. Satu kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf hingga akhirnya aku menemukan sesuatu yang bikin nggak bisa berhenti sebelum tamat.
Novel O ini novel pertama yang aku baca dengan isi berupa potongan-potongan kisah YANG SINGKAT SEKALI. Makanya diawal mungkin pembaca merasa bingung, karena butuh tempo yang lama untuk menyatukan semua potongan-potongan itu menjadi sebuah gambaran luas. Tapi aku merasa justru sebetulnya itulah daya tariknya. Unik. Pembaca berhasil dibuat penasaran oleh Eka di setiap potongan-potongan ceritanya. Misalnya, di paragraf a, sebuah revolver milik polisi bernama Sobar berkisah bagaimana tuannya memerlakukan dirinya begitu baik, menumpas segala keberingasan preman kakap, Toni Bagong. Namun kemudian ia berkisah kembali, bahwa kala itu, tuannya telah membunuh seorang tanpa dosa. PENASARAN SIAPA YANG DIBUNUH, EH TAUNYA PARAGRAF SELANJUTNYA MALAH NGEBAHAS YANG LAIN. Tapi justru tentunya paragraf selanjutnya itu adalah jawaban dari pertanyaan kita sebelumnya, entah yang mana. Demikianlah Eka berhasil membuat kita mau tidak mau menuntaskan seluruh kalimat dalam bukunya.
Selain itu, O juga kayaknya novel pertamaku yang tokohnya super duper banyak, tapi enggak bikin pusing. Beda banget sama waktu baca Allegiant tuh kan banyak juga tuh tokohnya, tapi sumpaaah ribet bangeeet, baru baca sepuluh halaman ke depan, eh ngerasa ada tokoh baru, padahal dari kapan boa udah nongol si tokoh teh wkwkwkw. Atau gue aja kali ya yang kebegoan?
Kalo di O, semua tu pas pada porsinya. Bisa disebut semi-fable sih kata aku mah. Karena melibatkan semua 'jenis makhluk', mulai dari manusia, monyet, ikan, anjing, sampai-sampai si revolver tadi. Semua punya pandangan yang beda-beda tapi tetap dalam satu frame. Dan, keterkaitan antar satu tokoh dengan tokoh lainnya juga luarbiasa cerdas! Wajar kalau di halaman terakhir tertulis 2008-2016 yang jelas-jelas merupakan rentang waktu Eka Kurniawan merampungkan masterpiece-nya. 8 TAHUN COOOEY! Aku jadi ngerasa receh banget pas nyadar, pengen beli buku semurah-murah mungkin tapi enggak ngerasain perjuangan menulis mahakarya kayak gitu juga berattt
Yang membuatku selalu menggeleng-geleng tiap kali membaca karya-karya Eka adalah; jika penulis-penulis lain mampu melahirkan sebuah cerita lewat kalimat-kalimat indah, maka Eka, setiap kalimatnya sendiri telah mengandung lebih dari satu cerita. Lebih dari satu cerita inilah yang kemudian mewujudkan suguhan luaaarbiasaaaa!
“Ia tidak peduli mereka bisa melakukan apapun yang mereka inginkan. tapi mereka tak akan menangkap seseorang hanya karena tidur di waktu tidur, shalat di waktu shalat, dan pergi kerja di waktu kerja.” (hlm. 178)
Makna
Dari segi makna, rasanya memang nggak akan terasa lengkap kecuali kita baca sendiri. Tapi secara garis besar, lewat O, Eka hendak menyampaikan betapa manusia itu sebetulnya sumber segala kekacauan yang lahir. Namun mereka sendiri tidak menyadari bahwa hal itu pula yang pelan-pelan menggiring mereka menjadi bangkai, untuk kemudian dilempar ke pembuangan sampah sudut kota, untuk kemudian lagi diludahi anjing borok.
Dan di sepanjang garis besar tadi, banyak garis-garis kecil yang merupakan percabangan falsafah-falsafah kehidupan. Tentang cinta dan kepercayaan, tentang keterlanjuran dan penyesalan, tentang mimpi dan nyali, tentang dendam dan rindu. Yang lebih membuatku terkejut adalah Eka berhasil menyelipkan nilai-nilai spiritual seperti menghadirkan tokoh kyai, burung beo yang pandai mengaji lagi mampu memaknai tujuan kehidupan ini. Ah, semuanya begitu ciamik dikemas dalam satu wadah bersampul biru ini.
Terakhir, aku selalu bilang ke semua orang yang menjumpai masalah atau apa, bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki sisi positif dan negatifnya. Apapun itu, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Begitu pula kala kita membaca sebuah buku. Tentu ada banyak sekali penulis-penulis yang mungkin konsep berpikirnya tidak seperti kita, tapi kemudian, jadilah pembaca yang bijak. Mengambil setiap makna-makna positif dan jadikan itu sebagai motivasi-motivasi mulia menjalani kehidupan. Serta untuk hal-hal yang mungkin tidak sesuai dengan kita, jadikan pula sebagai pelajaran, entah untuk tidak menjadi seperti itu, entah dengan penyadaran bahwa banyak orang-orang di luar sana yang tidak se-tercerahkan diri kita, entah apa pun itu. Aku yakin, kalian mengerti. Dan berlakukan pula hal itu untuk buku ini.
Terakhir lagi wkwkwk, sebagai generasi muda, jangan bangga kalau cuma baca novel hehe *menikam jantung sendiri* Persering juga baca berita. Dan pastinya buku diktat kuliah! Wkwkwkw JANGAN CUMA BACA SLIDE OY! *menikam jantung sendiri lagi*
Segitu dulu, ya. Maaf ya kalo banyak salah-salah, ya.
Salam sayaaaaangg kaliaaaaannn semuaaaaaaa,
Rizka Nurul Afifa
ABOUT THE AUTHOR
Hai kenalin! Gue Rizka, sekarang mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB. Gue sukanya banyak, salah satunya adalah nulis dan makin kesini gue makin menyadari ada banyak hal dalam hidup ini yang kadang perlu dikritisi, didukung, atau disebarluaskan. Makanya blog adalah tempat yang gue rasa tepat untuk menyalurkan semua itu. Sambil sesekali bisa jadi tempat gue berbagi cerita. Salam kenal dan selamat membaca!
Udah baca review kamu barusan. Kebetulan aja novel O jadi bahan skripsiku. :D
ReplyDeleteWaaah! Semangat Kak Ditaaaaaa! Semoga skripsinya lancar jaya sampai wisuda yaaaaaaa! Terima kasih sudah berkomentar! :)
Deletekak aku suka reviewnya hehe, kalo ada tombol like pasti udah aku like
ReplyDeleteKeren reviewnya euy......
ReplyDelete