art of life

I share

  • Home
  • Ask me
  • Tweet me
  • Watch me
Home Archive for 2019
Ide ini tercetuskan ketika beberapa waktu lalu gue main ke Jakarta. Naik KRL.

***

Ketika di KRL, gerbong campuran khususnya, sebagai perempuan, umum rasanya gue mendapati diri gue diprioritaskan, ya sempitnya, adalah soal tempat duduk. Setiap kita baru masuk gerbong, pasti akan ada banyak yang mempersilakan kita menggantikannya di kursi alias duduk. Itu baik.

Tapi ada sesuatu yang mengganjal yang kemarin itu gue sadari. Sumpah, Setiap di KRL dan gue kebagian tempat duduk, pantat gue rasanya ga pernah bisa duduk dengan tenang sentosa. Rasanya pengen cepet-carpet berdiri. Mata gue pasti berkeliaran, nyari siapa yang kira-kira bisa ngegantiin kursi gue. Ada. Pasti ada yang lebih butuh. Sekali pun laki-laki.

Tek! Dan terbesitlah itu semua. Semacam ilham yang dikucurkan mendadak. Bahwa gue selama ini membenci mereka (baca: para perempuan) yang menganggap menjadi perempuan adalah hak istimewa (privilege) bagi mereka untuk mendapati hidup yang lebih nyaman.

Gue baru sadar bahwa pemandangan ini sering banget gue temui di transportasi umum, khususnya KRL (yang paling sering): perempuan, masih muda, let's say seorang emba-emba, pake masker nyender ke jendela KRL sambil main smartphone, mungkin nonton K-Drama yang semalem belom tamat, dan di depannya ada bapak-bapak, yaaa ga tua renta sakit-sakitan engga, 30-40 tahunan lah, terus bawaannya banyak, keringetnya ngucur deres habis kecapean entah dari mana. Miris. Sering gue liat begitu. Izinkan gue buat judging: Bapak-Bapak kayak gitu itu jauh lebih butuh kursi dibandingkan si mba-mba, cuma karena si Bapak-Bapak ini sadar diri beliau belom tua renta, ga pula cacat, sehingga rasanya sesungkan itu buat minta ke mba-mba gantian berdiri. Sedangkan si mba-mba merasa ya karena dia perempuan, dia punya hak duduk di kursi KRL.

Iya, kan tadi gue bilang izinkan gue judging. Tapi coba pikir. Iya apa iya kalian sering ngeliat kaya gitu juga?

Cuy, jadi perempuan itu bukan kayak gitu ngejalaninnya. Coba ngaca ke dalem diri sendiri, sebenernya kita tu semampu apa sih ngejalanin hal-hal yang merupakan antitesa kenyamanan itu tadi? Berdiri doang di KRL, sejam, dua jam, itu tu bukan apa-apa. Kecuali ya kita hamil, sakit atau memang ngga sanggup. Tapi ini kondisinya kita sanggup. Ngaku aja. Ngaca dulu. Ngaca ke diri sendiri. Tanya nurani. Kita milih buat tetep duduk di KRL itu karena emang kita ga sanggup berdiri atau memang yah enak aja, seneng dapet kursi, selesai.

Gue kalo di KRL, baru masuk, gerbong campuran, terus dipersilakan duduk sama bapak-bapak yang lebih tua dari gue, pasti pertamanya akan gue tolak. Karena gue merasa fine aja kalo harus berdiri. Kecuali beliau tetap "insist" buat duduk, baru mungkin gue akan duduk, karena bisa jadi beliau memang sudah lama duduk, atau sebentar lagi stasiun tujuannya, atau ya memang beliau merasa lebih mampu berdiri.

Huft. Gimana ya, gue lagi susah merangkai frasa-frasa ngejleb sejujurnya sekarang.

Intinya, hal-hal seperti memersilakan tempat duduk buat perempuan, ngebawain barang, bukain pintu, jalan di kanan, memersilakan maju duluan (baca: ladies first), dan lain-lain itu sebetulnya merupakan etika baik (good ethics) yang harus diapresiasi ketika ada di dalam diri seseorang (dalam kasusnya kebanyakan di laki-laki), tapi hal-hal itu bukan sebuah privilege bagi seorang perempuan untuk jadi merasa baik-baik aja mendapatkan semuanya sementara ada pihak-pihak yang lebih membutuhkan hal-hal tadi, baik sesama perempuan, maupun malah laki-laki.

Lihat sekitar kita, girls. Empati. Empati.
Remember, beautiful soul over everything!
Gue suka foto ini karena match bangeet ama baju aowkowko
Belakangan ini gue lagi bener-bener lack of motivations banget. Maunya santai doang, maunya main doang, maunya enak-enak aja pokoknya. Kacau. Entahlah, gue kayak dikit-digit ngerasa "Ah, emang kalo gue ngerjain ini (baca: hal-hal produktif seperti mengoreksi laprak wkwk), bakal ngaruh buat bantu kehidupan gue setelah kampus?". Salah, iya, jelas salah. Tapi, ya, jujur aja, itu yang gue rasain. Padahal, kenyataannya yang harus gue selesaikan yaa ada aja (untuk enggak bilang banyak ya).

Tadi pagi habis beres kuliah, berawal dari mau bantuin bikin blog, gue jadi ngobrol sama salah seorang teman kelas. Nuril namanya. Gue ini selalu seneng ngobrol sama Nuril. Meskipun berisiknya amit-amit (wkwk maaf, Ril), tapi sering kali gue malah nemuin titik-titik terang yang selama ini ketutupan lewat nyelenehnya pemikiran Nuril ini.
Mau bilang bukannya parno tp gimanaaa emang saya beneran parno. Buka aja kuliah-kuliah dasar soal Spasial, segembling dan sesering itu nunjukkin penurunan luasan hutan Kalimantan. Kenapa? Karena di sana sy kira yg paling masif dan dalam tempo yg cepat. Bagaimana kalau nanti sudah jadi ibu kota? Akan ada berapa banyak dalih kepentingan rakyat buat membuka lahan?

Pemerataan pembangunan itu sy kira engga sekadar soal ibu kotanya ada di tengah atau engga. Tapi lihat, emg dasarnya pendidikan kita yg belum kontekstual, buku-buku IPS sekolah dasar masih mencirikan perkotaan adalah yang "semua serba ada", padahal perkotaan juga lumpuh tanpa pedesaan, kenapa songong banget? Emang dasarnya film-film dan periklanan di layar lebar maupun kecil (alias smartphone) yg serba Jakarta-Centered (kecuali iklannya CSR hehe). Tema cerita selalu "Jakarta: Me, Myself and I", penggunaan bahasa, hingga latar-latar cerita, semua didominasi kejakartasentrisan. Atau soal kesehatan yg di-frame baru terjamin kalau dengan obat kimia buatan pabrik (baca lebih lanjut dalam Codex: Konspirasi Jahat di Atas Meja Makan Kita). Yg dampaknya, masyarakat lebih memilih beli obat pabrikan, konsumtif, daripada berdikari memanfaatkan tumbuhan obat di sekitarnya yang, masyaAllah potensinya luar biasa hebat (bila kita mau lebih mengerti), dsb dsb. Pemerataan pembangunan itu bukan sekadar koordinat.

Sy akui soal pindah Ibu Kota ini saya cenderung subjektif. Berlandaskan kecintaan pada alam, sehingga teori-teori negasinya cuma bikin perut saya mules dan keringatan. Tapi kan kata Lukas Graham, if you love someone and you're not afraid to lose them you probably never love someone like I do. Faktanya kita masih dalam fase berkembang, Kuznet Curve mutlak mengatakan, selama itu pula pembangunan akan selalu menghancurkan lingkungan. Belum layak lah kita kepedean merasa bahwa "yang kali ini" pasti bisa adil antara ekologi dan ekonomi.

Di hutan mangrove Kurau, Bangka. Semoga berkesempatan merasakan hutan mangrove Balikpapan.

Sayangnya, sepagi tadi, saya mendengar Pak Gubernur mengatakan bahwa "Alam akan merusak dirinya sendiri" agar saya dan sesiapapun yang parno alam akan rusak tidak begitu khawatir. Saya sedih mendengarnya. Bisa-bisanya. Saya malas kalau harus menyebutkan semua dampak buruk campur tangan manusia buat alam. Apa beliau engga tau ya, bahwa dulunya Gurun Sahara adalah mega danau, yang menjadi cikal bakal lahirnya hutan Amazon? Bahwa kolonisasi manusia di sanalah yg mengubahnya seekstrim itu? Anggap saja engga tau. Atau mungkin yang beliau maksud adalah bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus, yang di luar kuasa kita untuk kendalikan? Padahal bencana alam itu bukan bentuk alam merusak diri, melainkan pemulihan diri dan re-updating daya tampungnya sendiri.

"Ngapain beli, Neng! Ginian mah tinggal ambil di kebun kopi Bapak di atas!"


Kurang lebih demikian kalimat Pak Ujang memarahi aku tatkala melihat aku mengisi keranjang sayur dengan bahan makanan yang baru kubeli dari warung. Banyak macamnya, ada daun bawang, cabai, hingga kubis. Saat itu aku cuma bisa terdiam dan meminta maaf—serta sejujurnya masih merasa belum mengerti mengapa Pak Ujang begitu marah.

Hari itu adalah hari ketiga Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKNT) yang aku jalani di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali. Masih benar-benar baru memulai menyelami kehidupan pedesaan. Impresi pertamaku terhadap nuansa desa hanya sesederhana; hidup di desa begitu mendamaikan. Bagaimana tidak, aku melihat jelas masyarakat Desa Patengan bisa begitu rukun dan bahagia meski jauh dari pusat-pusat perbelanjaan. Setiap pagi, dengan suhu udara yang selalu di bawah 14º C, masyarakat baik bapak-bapak maupun ibu-ibu sudah berangkat dengan setelan lengkap—sepatu boots karet, kaos panjang tebal, dan topi caping—menuju kebun teh milik PT Perkebunan Rajawali VIII di seantero Kecamatan Rancabali, menjalani rutinitas kerja di sana hingga senja menjelang. Selepas waktu ashar, aku bisa menyaksikan anak-anak usia sekolah dasar yang bermain di halaman masjid kampung. Saling kejar-kejaran dan beradu menangkap tonggeret lebih cepat, sama sekali tanpa kepala-kepala yang menunduk menghadap smartphone, sebagaimana hal itu biasa kujumpai di Kota Bogor sehari-hari.

Semakin lama aku berada di Desa Patengan, anggapanku terhadap kehidupan pedesaan semakin membuatku terenyuh-enyuh. Pernah suatu hari, aku dan teman-teman KKNT yang lain ikut membantu Pak Ujang dan istrinya panen kopi milik sendiri di atas bukit. Sungguh, pemandangan dari atas bukit itu begitu indah. Dalam benakku sebelumnya, desa terindah adalah Desa Edensor, yang dideskripsikan dengan sangat luar biasa oleh kata-kata megah Andrea Hirata. Namun, dari bukit kebun kopi Pak Ujang, seluruh imajiku tentang Edensor seakan runtuh hingga aku menggumam pada diri sendiri, “Dengan ini saya menjamin, Andrea Hirata belumlah menyaksikan bentang Desa Patengan kala menelurkan Edensor”.

 

Percaya nggak percaya, di masa depan kita sangat mungkin tidak lagi mengonsumsi sumber protein-protein kita hari ini, seperti sapi, kambing, dan lain-lain. Banyak faktor, sumberdaya yang terbatas dan pertumbuhan eksponensial populasi manusia misalnya. Oleh karena itu, sekarang-sekarang ini mulai (atau sudah?) banyak pusat-pusat pengembangan protein alternatif yang mostly bersumber dari satwa-satwa yang kini diistilahkan dengan Satwa Harapan. Salah satunya adalah Ulat Hongkong (Tenebrio molitor)! Nah, Senin kemarin (18 Februari), anak-anak KSH 53 berkesempatan buat mengunjungi salah satu pusat studinya, tepatnya di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan, di Kampus IPB Dramaga. Laboratorium ini secara autoriti milik Fakultas Peternakan, tapi terbuka untuk siapa pun yang memiliki minat untuk mendalami lebih lanjut.
Suasana sebelum praktikum dimulai
Keliling Taman Hutan Kampus

KSH53 mendapat kesempatan ini tidak lain karena bagian dari praktikum mata kuliah Manajemen Pakan dan Kesehatan Hewan. Kunjungan dimulai jam 13.00. Tapi gue, Dona, Karina, Afifah, dan Ningrum bisa-bisanya mengitari Taman Hutan Kampus dengan nikmatnya seolah lagi di Taman Nasional :") Jadilah, kita terlambat. Beruntungnya, tour dimulai pukul 13.30. 

Objek pengamatan kita di Satwa Harapan sebetulnya ada dua, yang pertama: Ulat Hongkong dan yang kedua: Jangkrik. Akibat jumlah kami yang lumayan banyak, grup dipecah. Gue kebagian Ulat Hongkong duluan. Pengalaman masuk ke dalam kandang-kandang jutaan ulat hongkong yang terbesit di kepala gue adalah: gelik :"))

Sepanjang perjalanan kita ditemanin oleh Mas Hendra Agusetuawan, yang juga merupakan narasumber kita hari itu. Mas Hendra menceritakan bagaimana asal mula Ulat Hongkong bisa 'tiba' di Indonesia. Sejatinya, jenis ulat hongkong berada di daerah Eropa, yang merupakan hama dari gandum (Cerelia sp). Dan penyebaran Ulat Hongkong pun dimulai ketika China, memesan gandum dan merupakan yang pertama di seluruh Asia. Selanjutnya, negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia, mengimpor gandum tersebut (dari Cina/Hongkong). Namun ketika telah tiba di negara importir, infeksi sudah sampai tahap larva dan selanjutnya menjadi ulat hongkong. Dari sanalah, istilah Ulat Hongkong disematkan pada ulat ini.
Kamu bersama Sinta, tapi aku adalah Ira.

Nonton film, naik gunung, berkirim lirik.
Bukan sajak lembah mandalawangi dan
matimu di pangkuanku
yang dapat kuhirup sambil senyum-senyum.

Bodoh. Maka pulanglah.
Habiskan waktumu di sisiku.
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
tentang serdadu Amerika yang mati di Da Nang
juga bayi-bayi di Biafra karena kelaparan.
Pulanglah, sayangku.

Aku masih selembut dahulu,
memintamu minum susu dan tidur yang lelap.
Sambil membenarkan letak leher kemejamu.
Menelusuri batu Pangrango oleh-oleh pendakian
juga pucuk-pucuk patah cemara.
Kita sama-sama tak pernah menanam.
Kita sama-sama tak pernah kehilangan.


Rizka Nurul Afifa
30 Maret 2019
Setelah sebelumnya gue sama Nanda kerugian banget gara-gara nyasar nyari serundeng, akhirnya kemaren kita berhasil mencicipi serundeng nyata! :""")

16 Februari, Nanda ulang tahun. Yeaaay! After a little celebration at home, besoknya kita caw, beneran niat membalas dendam atas serundeng nyasar kemarin. Berangkat dari rumah jam 11 siang. Langsung tancap gas ke jalan Pahlawan. Sampai jalan Pahlawan, ternyata masih muter-muter nyaris empat kali! Sangking nggak ketemunya yang namanya Warung Doyong Ken-Ken!!!!! Pingin nangis.

Singkat cerita, ternyata.......ternyata......... Warung Doyong Ken-Ken itu lokasinya persis di belakang Serundeng Nyasar yang kemareeeennnnn!! Astagaaaaaa. Aku ingin menangis.

Jumat kemarin tu, gue sama Nanda janjian bakal brunch di salah satu warung makan yang testimoninya kita lihat dari YouTube. Namanya Warung Doyong (Ken Ken). Nanda sih yang sebenernya ngajakin, dia udah ngidam dari sejak masih di Malang, masih libur semesteran kemarin. Tapi karna gue dan Nanda agak susah ngepasin jadwal, akhirnya baru bisa Jumat kemarin.

Kalo yang kita lihat di YouTube sih, itu tu enak banget gituulooo. Soalnya kita bisa bebas nambah nasi dan nambah serundeeengg! Sepuasnya! Like bayangin brow, makan serundeng sepuasnya tu kan bikin happy banget kan kan kaaaaann. Makanya gue pun jadi semakin ga sabar. Apalagi, paginya perut sengaja gue kosongin biar nikmat Ayam Serundeng terasa semakin nyata.

Di sela-sela pergantian kelas, Nanda udah rela balik lagi ke rumah, ngambilin gue helm. Gue juga udah ngeburu-buruin temen gue buat bantuin install ArcGIS yang dari pagi belum berhasil-berhasil. Terus singkatnya, jam 10 pagi kita berangkat, janjian ketemu di Kantin Sapta. Kita bedua naik motor dengan gue di belakang yang megang Google Maps. Nah kata Nanda tu nama warungnya Warung Doyong di Jl. Pahlawan. Gue search kan, udah tu dapet. Akhirnya kita caw ngikutin Google Maps nunjukinnya kemana.

Sumpah ya, itu jalanan Bogor lagi macet banget, dan panas dan bikin basah ketek tauga LOL. Segala macem dah pokoknya, tapi tetep aja rela kita tempuh demi "serundeng sepuasnya".

Singkat cerita, kita sampe di lokasi tujuan. Namanya Warung Doyong. Kita kesel gitu awalnya, kan warung ini tu literally di pinggir jalan ya. Tapi masa mereka ga nyediain tempat parkir dong. Udah deh, jadinya kita parkir itu di trotoar depan warungnya persis-sis-sis. Abis tu, dah kan ya, kita bedua masuk ke dalem... Dan akhirnya pesen deh, Ayam Serundeng.

Speed Motion sebentar ya..
Dari kemaren-kemaren tu gue udah kepingiin banget buat nulis lagi. Banyak banget kejadian yang, masyaAllaaah, menguji gue banget. Macem-macem aja. Pertama, gue dan temen-temen BEM KM IPB lainnya menjadi korban selamat tsunami Banten. Tepatnya di Tanjung Lesung. Gue padahal berniat menuliskan cerita ini secara khusus, gimana rasanya dan pelajaran yang gue dapet. Tapi, yah.... Belum lagi nggak lama dari itu, gue kena penipuan dan kehilangan sejumlah uang gue yg cukup signifikan. Gue ga ngerti lagi. Disusul habis itu, gue kehilangan tas. Yang mana isinya adalah binder kuliah (yang udah rapi banget siap di jilid), payung, tumblr minum, flashdisk-flashdisk, dompet (dengan segala kartu-kartu/ identitas/ dan uang tunai yang cukup banyak), dan handphone. Termasuk ATM buat bayar UKT (dengan tenggat waktu sisa dua hari). Bagian yang paling uniknya adalah, gue kehilangan tas ketika sedang UAS. Tau kan kalian, biasanya UAS tas ditinggal di belakang/depan ruangan. Yak, dan ketika gue selesai mengumpulkan berkas ujian, gue nggak bisa menemukan tas gue tsb. Udah raib. Gue juga kepengen nulis khusus tentang ini. Gimana gue mandang kondisi akademisi yang sedemikian kotornya, dan how I handled my self for those waves yang rasanya datang bertubi-tubi.

Gue juga kemarin pulang ke Bangka. Cuma seminggu. Jalan-jalan ke beberapa tempat sederhana, tapi bagus. Berkesan, meski cuma sebentar. More than enough to fulfill my...apa ya..emptiness(?). Saat ini gue juga sedang dihadapkan pada pilihan-pilihan terkait divisi untuk tugas akhir nanti. Gue heran, antara gue yang kebanyakan ide, atau emang gue yang masih belum bisa menjurus. Itu juga tadinya pengen gue ceritain. Tapi, yaaah, itu dia. Semua rasanya silih berganti terlalu cepat. Gue sampe ngga ngerti lagi mana duluan, apa duluan, pusiiiing. Oke, sekian curhatnya.


KSHE dan Satwaliar
Kali ini gue mau cerita tentang hubungan KSHE (IPB) dan satwaliar. Well, bisa dibilang KSHE merupakan satu-satunya departemen di IPB yang fokus mengurusi satwaliar. Mulai sejak masuk departemen (setelah lolos dari PPKU), mahasiswa KSHE pasti akan langsung berhubungan dengan satwaliar. Dan itu akan teruuss berlanjut sampai semester tujuh. Bahkan sampai sarjana, kalau topik skripsinya adalah satwaliar. Tujuan gue ngomong gini adalah, biar kalian (yang kepengen masuk KSHE) enggak kaget nanti ketika beneran udah jadi mahasiswa KSHE.

Oke, pertama dimulai dari semester tiga. Mahasiswa KSHE bakal dapet mata kuliah yang namanya Ekologi Satwaliar (biasa disebut ESL). Di mata kuliah ini, kita belajar hubungan antara lingkungan dengan kehidupan satwaliar. Sejujurnya pertama kali menghadapi ini, gue agak kaget (saat itu). Dari yang sebelumnya santai-santai aja di PPKU, ternyata praktikum di KSHE nggak santai cuuuy. Di mata kuliah ESL, kita harus melakukan pengamatan. Pengamatan maksudnya adalah kita mendatangi lokasi yang jadi area studi (biasanya ditentukan/ dibagi oleh asprak/ dlsb), dan kemudian kita mengamati (iya, mantengin, melototin whatever u name it) satwa yang ada di area tersebut, dengan metode tertentu. Gue cukup kaget karena emang yang namanya mengamati satwa itu harus bener-bener masuk ke dalam "hutan" mini (meskipun masih ranah kampus). Dan sangat menghabiskan waktu, which also means, butuh kesabaran yang sangat tinggi buat bisa dapet hasil yang maksimal. Segala indera sensori juga harus dipasang dengan sebaik mungkin untuk menghindari miss-indentified. Untuk mata kuliah ESL, pengamatannya masih sebatas habitat, dan mengenali jenis-jenis satwa. Cara hidupnya secara umum, klasifikasi, diurnal nokturnal, dan lain-lain. Masih sekadar mengenal kulit tentang satwaliar. Biasanya di akhir semester, kita rame-rame bakal fieldcourse ke Kebun Binatang Ragunan. Tapi bukan cuma buat sightseeing, tapi kita inven, apa aja yang ada disana, dan melakukan klasifikasi-klasifikasi satwa di sana.

Suasana pengantar praktikum di Kebun Binatang Ragunan
Subscribe to: Posts ( Atom )

About Me

My photo
Rizka Nurul Afifa
wide-eyed wanderer that easily enchanted.
View my complete profile

Visitors

Friends

Latest Comments

Blog Archive

  • ►  2020 (7)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  May (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (3)
  • ▼  2019 (9)
    • ▼  November (1)
      • Jadi Perempuan Bukan Privilege
    • ►  October (1)
      • Soal Bahagia, Doa Kita Salah?
    • ►  September (1)
      • Emang Parno Soal Kalimantan
    • ►  July (1)
      • Desa Kita, Pangan Kita
    • ►  March (2)
      • Belajar Protein Masa Depan di Satwa Harapan, Fakul...
      • Membalas Kamu yang dalam Gie
    • ►  February (2)
      • Serundeng Nyata
      • Serundeng Nyasar
    • ►  January (1)
      • Departemen KSHE dan Satwaliar
  • ►  2018 (13)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (2)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (2)
    • ►  June (2)
  • ►  2017 (12)
    • ►  August (1)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  April (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2016 (7)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2015 (16)
    • ►  November (1)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  June (4)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2014 (23)
    • ►  December (2)
    • ►  November (1)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (4)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2013 (32)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  July (5)
    • ►  June (5)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2012 (37)
    • ►  December (6)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  May (1)
    • ►  April (7)
    • ►  March (6)
    • ►  February (6)
    • ►  January (7)
  • ►  2011 (48)
    • ►  December (21)
    • ►  November (11)
    • ►  October (6)
    • ►  September (2)
    • ►  June (8)
Rizka Nurul Afifa. Powered by Blogger.

Popular

  • Arti NIM, Daftar Fakultas, Rincian Cluster dan Mata Kuliah Mahasiswa PPKU alias TPB di IPB
    Ngomong-ngomong soal mahasiswa baru, pasti kita semua setuju sebagian besar dari ‘mereka’ adalah anak-anak fresh graduate (from high s...
  • Fowkes.
    So today I decided to say good bye to instagram. For a year (perhaps). Sebenernya engga ada alasan khusus. Waktu UAS kemaren udah sempet ny...
  • Resolusi Tahun Baru, Lagi
    Jujur aja, rasanya bosen banget menghadapi tahun baru yang itu-itu aja. Bukan, bukan karena setiap tahun baru aku selalu di rumah. Itu mah ...
  • Cara Mengetahui Stalker Twitter dan Facebook
    Yeeyhaaa! Blogger kempeng ini balik! Em, kali ini gue mau ngeshare ilmu aja,hueheh. Setelah sekian lama engga ngecheck stalker, semalem gue...
  • Islamic Civilization Conference at Sentul International Convention Center
    “SICC, make some noiiisseeeeee!” Begitulah biasanya guncangan yang terdengar dari gedung SICC alias Sentul International Convention Cent...

Instagram

Categories

ART (46) Cerpen (7) Class (18) Events (40) Film (26) From my eyes (78) IPB (19) Inspiratif (47) Islami (19) Japan (2) Learn (56) News (25) Novel (4) Pramuka (20) Spirit (67) Story (20)



Search

Copyright 2014 art of life.
Designed by OddThemes