[ODE DARI KYOTO]
Tidak ada yang lebih anggun dari Kyoto bulan November. Dedaun pada pohonnya bersijingkat di kaki matahari tenggelam, seperti rambut Ichigo Kurosaki kata entah aku lupa siapa. Ah, tapi aku lebih suka yang gelap seperti Kagami.
"Bilang aja karena Kagami keren!" katanya lagi.
"Ih, dasar sempit. Kalo gitu, aku pengen daunnya berubah hitam sekalian. Biar sekeren Levi Ackerman!" Dia kemudian hening, sadar aku sedang pelit ketawa.
Daya ketawaku baru saja habis.
Siapa yang tidak lelah menderek koper sepanjang Kamo.
Meski tidak, setelahnya.
Laki-laki itu menyambut kami. Kamu tahu warna langit di pagi tatkala berat hati menerbitkan matahari yang kemudian nongol setelah pesan-pesan berikut? Itulah wajahnya. Membuatku ingin mencuri semua O dua yang tersisa sesudut Kyoto.
Warna yang membuatku ingin menjadikan Lelaki Kesukaan sebagai judul Ode ini. Tapi engga jadi, takutnya dibilang plagiat puisi Raisa (karena memang).
Esoknya, tawaku jadi seharga Matcha Taman Topi
Aku jadi iri dengan jaket bomber abu-abu yang menghalau punggungnya
Atau sandal bukan jepit, yang Carvil kukira
Sebab di tiap debit aliran Kamo, menyatulah mereka.
Kemudian aku mendengar suaranya
Meski tidak menthol seperti Bang Naga Lyla
Tapi boleh diadu dengan keteduhan kebun mangga sebelah A dua.
Esoknya lagi, senyumku seharga kencrengan Pengamen Sukasari
Tidak ada yang lebih anggun dari Kyoto bulan November. Dedaun pada pohonnya bersijingkat di kaki matahari tenggelam, seperti rambut Ichigo Kurosaki kata entah aku lupa siapa. Ah, tapi aku lebih suka yang gelap seperti Kagami.
"Bilang aja karena Kagami keren!" katanya lagi.
"Ih, dasar sempit. Kalo gitu, aku pengen daunnya berubah hitam sekalian. Biar sekeren Levi Ackerman!" Dia kemudian hening, sadar aku sedang pelit ketawa.
Daya ketawaku baru saja habis.
Siapa yang tidak lelah menderek koper sepanjang Kamo.
Meski tidak, setelahnya.
Laki-laki itu menyambut kami. Kamu tahu warna langit di pagi tatkala berat hati menerbitkan matahari yang kemudian nongol setelah pesan-pesan berikut? Itulah wajahnya. Membuatku ingin mencuri semua O dua yang tersisa sesudut Kyoto.
Warna yang membuatku ingin menjadikan Lelaki Kesukaan sebagai judul Ode ini. Tapi engga jadi, takutnya dibilang plagiat puisi Raisa (karena memang).
Esoknya, tawaku jadi seharga Matcha Taman Topi
Aku jadi iri dengan jaket bomber abu-abu yang menghalau punggungnya
Atau sandal bukan jepit, yang Carvil kukira
Sebab di tiap debit aliran Kamo, menyatulah mereka.
Kemudian aku mendengar suaranya
Meski tidak menthol seperti Bang Naga Lyla
Tapi boleh diadu dengan keteduhan kebun mangga sebelah A dua.
Esoknya lagi, senyumku seharga kencrengan Pengamen Sukasari