[ODE DARI KYOTO]
Tidak ada yang lebih anggun dari Kyoto bulan November. Dedaun pada pohonnya bersijingkat di kaki matahari tenggelam, seperti rambut Ichigo Kurosaki kata entah aku lupa siapa. Ah, tapi aku lebih suka yang gelap seperti Kagami.
"Bilang aja karena Kagami keren!" katanya lagi.
"Ih, dasar sempit. Kalo gitu, aku pengen daunnya berubah hitam sekalian. Biar sekeren Levi Ackerman!" Dia kemudian hening, sadar aku sedang pelit ketawa.
Daya ketawaku baru saja habis.
Siapa yang tidak lelah menderek koper sepanjang Kamo.
Meski tidak, setelahnya.
Laki-laki itu menyambut kami. Kamu tahu warna langit di pagi tatkala berat hati menerbitkan matahari yang kemudian nongol setelah pesan-pesan berikut? Itulah wajahnya. Membuatku ingin mencuri semua O dua yang tersisa sesudut Kyoto.
Warna yang membuatku ingin menjadikan Lelaki Kesukaan sebagai judul Ode ini. Tapi engga jadi, takutnya dibilang plagiat puisi Raisa (karena memang).
Esoknya, tawaku jadi seharga Matcha Taman Topi
Aku jadi iri dengan jaket bomber abu-abu yang menghalau punggungnya
Atau sandal bukan jepit, yang Carvil kukira
Sebab di tiap debit aliran Kamo, menyatulah mereka.
Kemudian aku mendengar suaranya
Meski tidak menthol seperti Bang Naga Lyla
Tapi boleh diadu dengan keteduhan kebun mangga sebelah A dua.
Esoknya lagi, senyumku seharga kencrengan Pengamen Sukasari
Aku dapat info bahwa ia ketua PPI sini
Apalagi mayoring di Pascasarjana Ilmu Energi
Duh kan, bikin keinget Pak Habibie.
Esoknya lagi, aku nyengir-nyengir seharga ngojek ke depan BNI
Tak peduli daun yang mengotori halaman senada dengan Ichigo atau Kagami,
aku ringan hati menyanyi.
Esoknya lagi
Esoknya lagi
Esoknya lagi
(anggap aku menuliskannya terus hingga halaman ke 28 bukumu)
Pagi itu, aku dan entah aku lupa siapa, berbaris bersebelahan. Usai semua di sini.
Seberat hati langit pagi menerbitkan mentari, aku enggan kembali.
"Indonesia menunggu kalian berinovasi." kata guru laki-laki, yang senyumnya seksi
kalo kata Andrini.
Seberat hati langit pagi menerbitkan mentari, aku enggan kembali. (habis ini aku diomelin Maam Erma, guru biologi bilingual jaman rok biru; gara-gara bilang langit punya hati)
Kemudian pagi itu,
laki-laki yang aku pernah ingat nama belakangnya samar
menghampiri perempuan yang duduk di atas pagar. (Aku buru-buru melihat posisiku), ah bukan aku ternyata.
Ia mencium dahi perempuan itu.
Karena bombernya kali ini hijau tentara, aku bisa mendengarnya dengan jelas,
kelewat jelas
bahkan benderang terlalu keras,
"Bilaaa, sini ayah gendong."
***
AH!
Tanganku dicubit.
"Punya orang ternyata..." kata entah aku lupa siapa. Suaranya sekecil cubitan buatku.
Aku menoleh sambil menggenggam lengan,
hm, ada yang lebih patah ternyata.
Untung ini kusebut Ode. Biar ini jadi Elegi miliknya yang entah aku lupa siapa. Toh Elegiku sendiri bakal rilis beberapa bulan dari masa ini.
"Santai, pulang dari sini,
ke klenik kita, Pir!"
"Goblok!" aku ditempeleng Safira sejurus setelah mengingat namanya.
Bogor, Pancaroba 2017
Rzka
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
(Hanya fiktif belaka. Saya hanya sedang rindu Sapardi Djoko dan Sarwono-nya. Sialnya belum baca materi PIKEL satu salindia pun)
Tidak ada yang lebih anggun dari Kyoto bulan November. Dedaun pada pohonnya bersijingkat di kaki matahari tenggelam, seperti rambut Ichigo Kurosaki kata entah aku lupa siapa. Ah, tapi aku lebih suka yang gelap seperti Kagami.
"Bilang aja karena Kagami keren!" katanya lagi.
"Ih, dasar sempit. Kalo gitu, aku pengen daunnya berubah hitam sekalian. Biar sekeren Levi Ackerman!" Dia kemudian hening, sadar aku sedang pelit ketawa.
Daya ketawaku baru saja habis.
Siapa yang tidak lelah menderek koper sepanjang Kamo.
Meski tidak, setelahnya.
Laki-laki itu menyambut kami. Kamu tahu warna langit di pagi tatkala berat hati menerbitkan matahari yang kemudian nongol setelah pesan-pesan berikut? Itulah wajahnya. Membuatku ingin mencuri semua O dua yang tersisa sesudut Kyoto.
Warna yang membuatku ingin menjadikan Lelaki Kesukaan sebagai judul Ode ini. Tapi engga jadi, takutnya dibilang plagiat puisi Raisa (karena memang).
Esoknya, tawaku jadi seharga Matcha Taman Topi
Aku jadi iri dengan jaket bomber abu-abu yang menghalau punggungnya
Atau sandal bukan jepit, yang Carvil kukira
Sebab di tiap debit aliran Kamo, menyatulah mereka.
Kemudian aku mendengar suaranya
Meski tidak menthol seperti Bang Naga Lyla
Tapi boleh diadu dengan keteduhan kebun mangga sebelah A dua.
Esoknya lagi, senyumku seharga kencrengan Pengamen Sukasari
Aku dapat info bahwa ia ketua PPI sini
Apalagi mayoring di Pascasarjana Ilmu Energi
Duh kan, bikin keinget Pak Habibie.
Esoknya lagi, aku nyengir-nyengir seharga ngojek ke depan BNI
Tak peduli daun yang mengotori halaman senada dengan Ichigo atau Kagami,
aku ringan hati menyanyi.
Esoknya lagi
Esoknya lagi
Esoknya lagi
(anggap aku menuliskannya terus hingga halaman ke 28 bukumu)
Pagi itu, aku dan entah aku lupa siapa, berbaris bersebelahan. Usai semua di sini.
Seberat hati langit pagi menerbitkan mentari, aku enggan kembali.
"Indonesia menunggu kalian berinovasi." kata guru laki-laki, yang senyumnya seksi
kalo kata Andrini.
Seberat hati langit pagi menerbitkan mentari, aku enggan kembali. (habis ini aku diomelin Maam Erma, guru biologi bilingual jaman rok biru; gara-gara bilang langit punya hati)
Kemudian pagi itu,
laki-laki yang aku pernah ingat nama belakangnya samar
menghampiri perempuan yang duduk di atas pagar. (Aku buru-buru melihat posisiku), ah bukan aku ternyata.
Ia mencium dahi perempuan itu.
Karena bombernya kali ini hijau tentara, aku bisa mendengarnya dengan jelas,
kelewat jelas
bahkan benderang terlalu keras,
"Bilaaa, sini ayah gendong."
***
AH!
Tanganku dicubit.
"Punya orang ternyata..." kata entah aku lupa siapa. Suaranya sekecil cubitan buatku.
Aku menoleh sambil menggenggam lengan,
hm, ada yang lebih patah ternyata.
Untung ini kusebut Ode. Biar ini jadi Elegi miliknya yang entah aku lupa siapa. Toh Elegiku sendiri bakal rilis beberapa bulan dari masa ini.
"Santai, pulang dari sini,
ke klenik kita, Pir!"
"Goblok!" aku ditempeleng Safira sejurus setelah mengingat namanya.
Bogor, Pancaroba 2017
Rzka
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
(Hanya fiktif belaka. Saya hanya sedang rindu Sapardi Djoko dan Sarwono-nya. Sialnya belum baca materi PIKEL satu salindia pun)
ABOUT THE AUTHOR
Hai kenalin! Gue Rizka, sekarang mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB. Gue sukanya banyak, salah satunya adalah nulis dan makin kesini gue makin menyadari ada banyak hal dalam hidup ini yang kadang perlu dikritisi, didukung, atau disebarluaskan. Makanya blog adalah tempat yang gue rasa tepat untuk menyalurkan semua itu. Sambil sesekali bisa jadi tempat gue berbagi cerita. Salam kenal dan selamat membaca!
0 comments:
Post a Comment