Aktivis: Produktif atau sekadar Sertif?


Entah kenapa belakangan ini aku semacam kehilangan semangat buat ngapa-ngapain. Rasanya maleeeeeess banget untuk mau ngerjain sesuatu. Seolah-olah sepanjang hari pengennya tidur doang, nonton anime sambil nunggu maghrib, bahkan malemnya pun males untuk sekadar tilawah. Subhanalloh Padahal yang harus diselesaikan masih banyaaakkk bangetttt, dan padahal 2 minggu lagi aku UAS dan padahal aku ngerasa nilai-nilai semester 2 ku cenderung turun banget.
Makanya malem ini aku memutuskan untuk mulai mengerjakan sesuatu yang produktif, yakni nulis di blog (wkwk ga produktif-produktif amat ya?) semuanya bermula gara-gara kemarin aku baca di Line, ada yang nulis pendapat, bedanya “Orang Sibuk dan Orang Produktif.”. dari tulisan itu sedikit banyak aku setuju. Dan kali ini aku pengen berbagi pandanganku sendiri tentang kedua hal tersebut.
Oke, gini.

Memasuki dunia kampus, aku ketemu sama banyak banget tipe-tipe orang. Ada yang ambisius banget sama nilai-nilainya sendiri, ada yang doyan titip absen, ada yang di kelas sare wae, ada yang pengajian kemana-mana mulu, ada yang bentar-bentar nawarin jualan, ada yang hobi organisasi kemana-mana dan ada yang apatis banget ngerasa ngurusin orang itu kurang kerjaan banget.
Nah, untuk yang dua tipe terakhir, kayaknya kita pasti bisa ngelihat dengan jelas deh perbedaan-perbedaannya. Kubu yang sering dipanggil aktivis versus akademis/tongkrongis. Tapi ada yang kita sering lupa, kubu-kubu pertengahan keduanya, si produktiv-is

But before, gini, aku sering mendapati diriku cemburu, atau iri pada mereka-mereka, mahasiswa yang dipundaknya ada banyak sekali amanah yang menumpuk. Kepanitiaan inilah, opening itulah, UKM inilah, himpro itulah, dan nggak tanggung-tanggung, kerap kali mereka memegang peranan penting di sana. Mulai dari penanggungjawab-penanggungjawab subdivisi, badan pengawas, hingga ketua organisasi tersebut.

Yang bikin aku iri adalah, they are so fucking cool haha. Iya, kemana-mana disapa atau nyapa orang. Adaaa aja kenalannya. Bentar-bentar ngumpul buat rapat inilah, rapat itulah. Kebayang apalagi kalo ramadhan kayak gini, beuh, nggak kebayang deh bukbernya berapa kali wkwkw. Bahkan kadang sering bisa lolos aja gitu gak ikut rapat di salah satu organisasinya karna organisasi yang satu lebih krusial.
But, wait... 

What?

Nah, itu dia yang awalnya mentrigger aku untuk nggak lagi mengagumi mereka-mereka yang pundaknya overwheight.
Aku mendapati kenyataan bahwa ternyata aktivis itu dibagi dua. Mereka yang memang aktif untuk jadi produktif, atau mereka yang aktif mencari-cari sertif. Nah loh.

Orang-orang yang aktif mencari sertif tadi biasanya hanya mementingkan kuantitas keberpengaruhan mereka pada suatu acara atau pada kampus. Mereka lupa akan kapasitas kualitas diri mereka sendiri. Apa sesungguhnya masih ada ruang di pundak mereka untuk memikul beban tambahan(?). Si aktif pencari sertif pun terkadang enteng banget ketika dia mohon izin untuk nggak ikut rapat,

Maaf ya guys, gua ada rapat sama ini* (biasanya si ini itu jauh lebih penting dari pada si guys). Sehingga si guys mau gak mau ya membalas, yaudah gapapa, semangat yaa.



Sungguh bukan berarti itu hal yang salah. Itu jelas-jelas mungkin banget terjadi pada siapaun dalam jenis rapat apapun, bahkan bagi para apatis yang aku sebut diawal-awal tadi. Cuma, kebayang nggak, apa jadinya sebuah organisasi kalo isinya mayoritas adalah orang-orang yang enteng bin sering banget izin kayak tadi?
 Jelas organisasi tersebut jadi rapuh banget. Sebab tiang-tiang yang harusnya kokoh menopang mereka bisa enteng2an cabut ke gedung lain. Walhasil, organisasi itu gak bisa jalan maksimal ya karna unsur2 pemenuhnya pun nggak maksimal. Sementara di satu sisi, si aktif pencari sertif ini biasanya adalah mereka-mereka yang punya nilai seni berbicara yang tinggi sehingga pada saat wawancara perekrutan kerja dan lain sebagainya bisa banget ngeyakinin si pewawancara bahwa mereka bisa komit, bisa manage waktu, bisa bisa bisa.

Berjalan paralel dengan hal tersebut, aku malah jadi respect pada mereka-mereka yang mengerti kapasitas diri. Si aktif yang produktif. Mereka paham sebelum mendaftar atau mengikuti sebuah organisasi atau kepanitiaan, mampukah mereka melibatkan diri secara total? Mereka nggak akan mudah bilang “Siap” untuk sesuatu bukan karna mereka apatis, tapi mereka paham kapabilitas mereka untuk amanah baru tersebut. Mereka bakal mikir lebih jauh, manfaat apa yang mereka bisa dapat? Diri mereka akan berkembang sejauh mana jika bergabung? Organisasi akan jadi lebih baik sejauh mana kalau mereka terjun? 

Mereka nggak akan gampang dikompor-komporin oleh “kamu nggak daftar, artinya kamu nggak berkontribusi” lantas asal-asalan daftar yang penting dicap berkontribusi.

Padahal apa sih definisi kontribusi sesungguhnya?
Ikut banyak organisasi tapi bentrok mulu antara satu dan yang lainnya sehingga hanya memberi seadanya? Atau memang ikut beberapa atau mungkin satu, tapi mengerahkan seluruh energinya disana?
KBBI malah bilang kontribusi artinya iuran. Nah loh. Iuran apa yang seorang anggota sepatutnya berikan terhadap organisasinya? 

Keseriusan atau presensi?

Mereka si produktif ini lebih memilih kerja efektif karna mereka nggak menilai “keberperanan” seseorang itu dari seberapa banyak dia join organisasi, atau seberapa banyak relasi yang dia jalin, enggak. Mereka menilai orang dari efektifitas dan efisiensinya, sehingga mereka pun nggak akan berlomba-lomba terlihat sibuk. Pamer setiap paginya, gua semalem cuma tidur 3 jam ngurusin ini-itu. Malah kayaknya mereka ketawa dan merasa si pengeluh itu bodoh, “Mengeluh untuk sesuatu yang telah dia pilih sendiri.”.

Namun kemudian, beberapa kali aku sering lihat, si aktif yang produktif ini nggak seterkenal si aktif pencari sertif. Sehingga relasi pun nggak sebanyak si pencari sertif. Urusan ngebanyol dan ngebacot, jelas si produktif kalah... Dan sedihnya, ketika penilaian kinerja dan yang lain sebagainya, yang berdasarkan keseringan bergaul atau frekuensi nongol di grup dunia maya, mereka pun turut tersisihkan... sehingga kembali menjadi seperti siklus, pada perekrutan organisasi apapun di tahun depan, si pencari sertif bakal gembar-gembor pamer saya pernah ikut ini-itu-ini-itu jadi ini-itu-ini-itu dinobatkan sebagai ini-itu dan ujung-ujungnya pasti accepted. Dan balik lagi jadi seperti siklus.

Aku nulis begini bukan berarti akulah si produktif atau semua aktivis adalah seperti si pencari sertif tadi. Nggak bisa dipungkiri bahwa banyak juga aktivis yang hadir dimana-mana tapi juga mampu memberikan energi maksimalnya. Aku juga sama sekali nggak berniat untuk menyindir atau menyinggung apalagi curhat-curhat tersirat, tidak. Karna aku pun sadar betul seperti apa diriku hari ini. Kaburo maktan indallohi an taqulu ma la taf’aluun kata Alloh.

Tapi, poinku di sini adalah, aku pengen diriku sendiri, dan kamu yang baca ini, untuk merenung sejenak. Sebenernya, selama ini, kita itu orang yang produktif atau sekadar mencari kesibukkan?

Ketika kita mendaftar sesuatu, apa niat sejati kita? Sertifikat? Relasi? Atau benar-benar ingin berperan? Atau cuma kayak yg ku mention sebelumnya, ingin terlihat soo fucking cool?

Untuk siapa kita rela menghabiskan energi dan waktu kita itu? Gelar? Plakat? Kadiv? Dosen? Atau semata-mata untuk Alloh, merasa itu adalah jalan kebaikan yang bisa memberatkan timbangan kebaikan bagi kita di hari akhir nanti?


Aku ingin diriku, dan kamu yang baca ini untuk
merenung sejenak.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hai kenalin! Gue Rizka, sekarang mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB. Gue sukanya banyak, salah satunya adalah nulis dan makin kesini gue makin menyadari ada banyak hal dalam hidup ini yang kadang perlu dikritisi, didukung, atau disebarluaskan. Makanya blog adalah tempat yang gue rasa tepat untuk menyalurkan semua itu. Sambil sesekali bisa jadi tempat gue berbagi cerita. Salam kenal dan selamat membaca!

0 comments:

Post a Comment