Peluncuran Buku: Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan

"Indonesia tanah berseri, tanah yang aku sayangi. Marilah kita berjanji, Indonesia abadi. Selamatlah rakyatnya, selamatlah putranya. Pulaunya, lautnya, semuanya. Majulah negerinya, majulah pandunya, untuk Indonesia Raya!"

Kurang lebih demikian penggalan lagu Indonesia Raya yang membuat gue selalu merinding berkali-kali. Sayangnya, engga banyak yang tau soal penggalan Indonesia Raya itu. Kebanyakan dari kita, sejak SD sampai sekarang, 'cukup tau' lagu Indonesia Raya sebagaimana selama ini kita menyanyikannya kala pengibaran bendera merah putih. Padahal, naskah asli Indonesia Raya itu tertulis hingga tiga stanza.

Saat itu, masa-masa perjuangan bangsa kita lepas dari penjajahan, boleh jadi stanza 1 lagu Indonesia Raya adalah yang paling sesuai. Tentang perjuangan merebut kemerdekaan. Namun rasa-rasanya justru stanza 2 dan 3 lebih menjadi tantangan yang mesti kita hadapi saat ini. Soal budi pekerti yang mulai tergeser misalnya. Bukankah tidak hanya di kehidupan sosial masyarakat? Bahkan berpolitik pun hari ini semacam kehilangan sopan santunnya. Atau katakanlah soal bagaimana kita beragama, yang mengingatkan gue dengan kalimat Salim Said: "Indonesia, Tuhan saja tidak ditakuti" yang bisa jadi ada benarnya, merupakan sebab musabab Indonesia nggak kunjung maju. Juga problematika sumber daya alam yang justru jadi ironi (resource curse). Sebuah kutukan sumberdaya, dimana negara yang dikaruniai sumberdaya alam melimpah, justru cenderung merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi paling rendah.


Inilah yang melatarbelakangi Prof. Hariadi Kartodihardjo atau yang lebih akrab disapa Prof HK (Haka) merilis buku berujudul Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan: 73 Esai-Esai Reflektif Dalam Kuasa Pengetahuan, Politik PSDA & Problematika Kebijakan. Buku ini sebetulnya merupakan kompilasi dari berbagai esai Prof HK yang berserakan dimana-mana, termasuk di dunia maya, baik di grup-grup Facebook hingga WhatsApp. Serakan tulisan-tulisan bernas itu dirasa perlu disatukan oleh Forest Watch Indonesia (FWI). Dan walhasil, terwujudlah 73 esai dalam satu genggaman ini. Dipilih sebanyak 73 esai sebetulnya karena terdapat semangat usia kemerdekaan Indonesia yang menjadi landasan refleksi esai-esai Prof HK. Bagian menyenangkannya adalah, gue hadir dalam acara launching buku ini serta termasuk lima puluh tamu pertama yang artinya, gue berhak mendapat satu buku tersebut freely.

Acara launching kemarin diselenggarakan Jumat, 2 November di Almondtree Cakes Cikini. Gue berangkat dari Bogor sekitar pukul 11.30 sehabis UTS Etnobiologi Hutan dan foto angkatan DKSHE 53. Motivasi terbesar gue sebetulnya gue mau jadi 50 orang pertama, karena gue berintuisi bahwa akan cukup sulit melacak dimana buku ini nantinya bisa dibeli. Awalnya gue cukup khawatir gagal karena nyampe stasiun Cikini aja udah pukul 13.00, artinya acara seharusnya sudah berjalan. Ditambah jalan dua puluh menit, gue baru tiba di lokasi pukul 13.20. Tapi ternyata gue merupakan tamu ke-20 yang artinya gue dapet buku Prof Haka gratis!😆

Setelah makan siang enak yang gratis, acara pun dimulai. Bukan bedah buku, sih, tepatnya lebih mirip selayang pandang dari para profesional terkait terhadap buku MSLK secara umum. Pertama, ada Pak Ramdan Andri dari Fakultas Hukum UI. Beliau lebih banyak mengkritisi hal-hal teoritis yang dituangkan Prof HK dalam bukunya. Menyoalkan diskresi yang sejatinya tidak perlu dihilangkan, menyoal ahli yang menjadi saduran Prof HK dalam buku, dan lain sebagainya. Ada Bu Brigitta Isworo jurnalis KOMPAS. Beliau lebih banyak menomentari soal kepenulisan. Pada ujungnya, beliau (sebagai jurnalis) merasa buku Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan ini terlalu penuh kesopanan ala Jawa, yang tidak mampu mengusut kasus hingga "Jadi siapa sih yang salah?". Namanya juga, jurnalis😄. Kemudian ada mas Fayadh selaku penggiat gerakan Agraria dan Lingkungan yang menurut gue paling berapi-api lah ya. Biasa, anak muda. Juga ada Pak Ismatul Hakim dari KLHK.

Gue merasa paling "Iya banget" adalah ketika Pa Ismatul Hakim bercerita. Bahwasannya beliau ini dulu sama, kuliah kehutanan layaknya Pak Prof HK. Akan tetapi ujungnya mereka masuk dalam ranah yang berbeda, Prof HK dalam penelitian, dan Pak Hakim dalam birokrat."Di bangku kuliah itu kami diajari soal fungsi-fungsi hutan, klasifikasi, pemanfaatan hasil hutan, semua itu dipelajari. Namun di bangku kuliah kami tidak pernah diajari soal korupsi. Bahwa kebohongan-kebohongan semodel korupsi adalah sesuatu yang riil terjadi dalam sistem kita hari ini, bagaimana harus menyikapinya." Gue seketika betul-betul merinding merasa betapa memang sistem pendidikan kita hari ini hanya menge'set' bagaimana nanti kita cukup tau terkait bidang ilmu kita. Misalnya dalam kasus gue, sistem pendidikan itu masih sebatas bagaimana nanti gue lulus sebagai sarjana kehutanan, menguasai teoritis ilmu kehutanan, dan mampu praktis di lapangan. Sayangnya, masalah besar yang akan dihadapi kami-kami ini tidak sebatas bagaimana aplikasi ilmu itu. Jauh lebih besar. Tentang bagaimana mampu menjadi motor untuk kebenaran dan memerjuangkan keadilan. Memang terdengar sok-heroik. Namun memang demikian semestinya, apa mau dikata?

Selanjutnya dibuka sesi diskusi. Satu yang paling gue soroti adalah pendapat dari Mas Zakky. Karena dibanding dengan penanya-penanya lain yang merupakan orang-orang yang bergerak dibidang lingkungan, Mas Zakky memerkenalkan diri sebagai orang yang bekerja di perusahaan energi. Beliau memahami jalannya diskusi, namun ia menyampaikan realita bahwa kebutuhan akan energi akan selalu berbanding lurus dengan demand yang ada. Sehingga beliau mengharapkan adanya kesesuaian, keselarasan, serta kesamaan suhu antara KLHK dan KESDM dalam menghadapi persoalan-persoalan ekonomi-ekologi khususnya dalam ranah energi.


Prof HK kemudian memberikan tanggapan-tanggapannya atas beberapa kritik, pertanyaan, serta pembahasan selama diskusi berlangsung. Acara kemudian ditutup sembari MC mempersilahkan Imaginakal dan Cak Rus (datang jauh-jauh dari Yogyakarta) untuk menempati panggung. Ketika Prof HK hendak keluar ruangan, gue dan beberapa peserta diskusi dengan segera menghampiri beliau dalam rangka: mengejar tanda tangan. Syukur gue masih dapet tanda tangannya.

Imaginakal pun mulai mengisi ruangan dengan syair-syair "dalam" mereka tentang hutan dan kekayaan alam. Gue selalu seneng sih sama mereka ini. Kerasa kayak the real artists. Seniman betulan itu ya begini ini. Berangkat dari hati yang dipadu daya analisis. Imaginakal ini juga enggak menganggap diri mereka band music. Melainkan sebuah ruang untuk mengekspresikan rasa. Dan jelas, mana ada band music yang memasukkan puisi marah-marah di dalam lagunya. Iya kan?


"Tentu tak mudah menaklukan jalan terjal di depan. Tentu sulit tuk melupakan masa lalu yang kelam. Ku memilih percaya. Ku memilih bersama. Ku memilih bahagia."

***

Berikut ini gue masukin Indonesia Raya 3 Stanza versi Om Iwan Fals. Semoga kalian, pembaca gue, at least, jadi pada tau ya versi 3 stanza Indonesia Raya.


***

Sesi curhat:Gara-gara jalan kemarin ini, gue ngerti bahwa ternyata self-healing gue itu bukan dengan curhat sama orang, kumpul-kumpul sama orang atau hal-hal penuh basa-basi lainnya. Gue tau bahwa obat terbaik gue ketika gue lelah adalah: mendapati diri gue bisa seindependen itu. Gue senang bisa lari (menjelajah) sejauh yang gue bisa. Bertanggung jawab atas langkah-langkah gue. Engga ada yang tau gue kemana. Engga ada yang bisa nyari-nyariin gue. Dan ngga ada yang bisa gue ajak ngobrol. Selain kepala gue sendiri. Gue langsung ngerasa "penuh" aja tiap kali setelah sampai rumahnya. Iya, senyembuhin itu.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hai kenalin! Gue Rizka, sekarang mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB. Gue sukanya banyak, salah satunya adalah nulis dan makin kesini gue makin menyadari ada banyak hal dalam hidup ini yang kadang perlu dikritisi, didukung, atau disebarluaskan. Makanya blog adalah tempat yang gue rasa tepat untuk menyalurkan semua itu. Sambil sesekali bisa jadi tempat gue berbagi cerita. Salam kenal dan selamat membaca!

2 comments: