Purna #UkirKisah di BEM KM IPB Kabinet Bara Muda
Saya pemuda dan saya siap berkontribusi menjadi bagian kisah baru untuk KM IPB!
Foto Kabinet di Lapangan Rektorat |
Jadi, begini...
***
Langkah Awal
Semua bermula dari gue yang merupakan simpatisan salah satu pasangan calon Presma-Wapresma BEM KM IPB 2018, Qudsyi-Surya. Sampai akhirnya mereka keluar sebagai pemenang. Entah karena apa, tiba-tiba gue tau, gue akan menjadi bagian dari kabinet ini. Semacam ilham dari langitlah wkwk. Pada saat itu gue belum yakin antara Lingkungan Hidup atau Agrikompleks yang akan gue propose. Karena hanya dua dari sebelas kementerian dan tiga biro yang menawarkan unsur-unsur kehutanan dan lingkungan di dalamnya. Singkat cerita, gue akhirnya mantap memilih Jagrikom (Kebijakan Agrikompleks) sebagai rumah gue mengabdi setahun kedepan. Gue pada mulanya enggak begitu berambisi untuk harus diterima, karena proses diklat dan seleksi gue jalani dengan sangat selow. Sampai ketika tahap wawancara, gue semacam dapat wahyu kalau gue pasti diterima hahaha! Ya, karena dalam kesempatan wawancara, gue bisa dengan perfect-nya membawakan puisi Rendra "Sajak Pertemuan Mahasiswa" di depan Bang Bambang (menteri terpilih) dan Kak Alifda (sekretaris terpilih). Sepulang dari wawancara, gue siap menerima notifikasi diterimanya gue di dalam kabinet. Hahaha.
Menjadi PimpinanSebelum Negara Api Menyerang 😀 |
Momen Dialog Rektor, masa awal. |
Ternyata, notifikasi itu enggak sekadar diterimanya gue di dalam kabinet. Tapi Kak Alifda, dengan semena-menanya ngasih selamat "Selamat, ya! Kamu sekarang bendahara Jagrikom!". Gila ga sih. Pengumuman macam apa yakan. Hahaha. Singkat cerita setelah sekian keterkejutan dan permintaan klarifikasi kenapa begini kenapa begitu, dimulailah ukiran kisah gue sebagai Bendahara Kementerian (Benmen) Kebijakan Agrikompleks yang mana artinya gue juga merupakan pimpinan dalam Kabinet Bara Muda. Gue mencoba dengan cepat untuk adaptasi dengan pimpinan lain yang notabane-nya merupakan kakak tingkat (rata-rata 2014 sedangkan gue 2016) dan yang jelas, mereka mengikuti diklat khusus pimpinan ketika gue hanya diklat staff dan itu pun gue selesaikan dengan sangat amat selou.
Jadi pimpinan ternyata salah satu warna yang paling dominan di kepala gue dalam album kenangan selama di Bara Muda. Khususnya dengan pimpinan Jak (istilah kami menyebut tetranitas kementerian-kementerian pergerakan mahasiswa, Jakpus [Kebijakan Kampus], Jakda [Kebijakan Daerah], Jaknas [Kebijakan Nasional] serta Jagrikom ini sendiri). Mungkin dengan kepribadian gue yang begini, menjadi staff engga akan memberi impact apa-apa dalam kepengurusan gue di Bara Muda. Menjadi pimpinan memberi gue beban moral tersendiri untuk suportif dengan kabinet seperti apapun masalahnya. Menjadi pimpinan juga mendorong gue untuk harus terus terlibat dalam agenda-agenda kementerian lain, mulai dari Green Festival, Pasar Rakyat Tani, sampai Pekan Apresiasi. Positifnya adalah, gue senang karena dengan begitu gue jadi bisa melihat bahwa setiap komponen itu pasti punya masalahnya masing-masing. Punya beban yang harus dipikulnya masing-masing. Bukan kita doang, kementerian kita doang. Dari teman-teman di pimpinan, gue banyak sekali belajar untuk lebih bijak menghadapi masalah, karena masalah itu hal biasa. Wajar. Karena selama satu periode masa bakti kemarin, boleh dibilang kementerian gue ini memang kementerian yang bukan hanya agri-kompleks, tapi kompleks betulan!
Dari kiri: Kak Puput (benmen Jakda), gue, Kak Izza (benmen Jakpus), dan Rania (benmen Jaknas) |
Kementerian Kompleks
Kementerian Kebijakan Agrikompleks Kabinet Bara Muda terdiri dari delapan mahasiswa yang latar belakangnya beragam. Bambang Tri Daxoko, menteri, merupakan mahasiswa Ilmu Gizi (FEMA) 2014 yang memang sudah lama melanglang buana di pergerakan pembelaan petani dan rakyat kecil. Kemampuan analisisnya gue akui yang paling baik dari seluruh menteri Jak. Alifda Qunur Ain, sekretaris kementerian, mahasiswi Ilmu Tanah 2014 (FAPERTA) yang trackrecord-nya dalam dunia kesekretariatan engga perlu diragukan lagi. Kemudian gue, yang ya begini lah ya. Serta lima staff, Syakiro, Hesti Gusela dan Wigin Aji Pratama asal Fakultas Perikanan, Rudi asal Fakultas Pertanian, dan Dwi dari Fakultas Peternakan. Hampir kami semua merupakan anak-anak baru di pergerakan mahasiswa. Selain Bambang dan Wigin yang sudah lebih dahulu menyelam.
Pada mulanya, gue yang tanpa latar belakang pergerakan (bahkan pernah membenci kegiatan aksi mahasiswa di masa-masa SMP), gue mengira tantangan terbesar gue di Jagrikom adalah bagaimana gue harus keeping up dengan kemampuan rekan-rekan lain, daya analisis gue terhadap isu (khususnya dalam bidang-bidang yang belum pernah gue sentuh seperti kebijakan peternakan nasional), membangun hubungan/relasi ke komunitas serta hal-hal lain yang terasa sangat eksternal menurut gue. Nyatanya, setelah dijalani, kendala terbesar yang harus gue hadapi adalah persoalan-persoalan internal yang enggak mungkin gue ceritakan detil di sini. Dimana problematika internal ini betul-betul never meet end sampai akhir kepengurusan hahaha.
Positifnya, gue merasa justru dengan itu semua, gue terlahir kembali menjadi seseorang yang lebih tough. Gue (dan Kak Alifda) jadi betul-betul bisa ngerti betapa manusia itu memang diciptakan beragam. Terlalu beragam bahkan untuk bisa kita mengerti seluruhnya.
Dipanggil Abang Sendiri
Hebatnya, dengan adanya konflik-konflik internal, bukan berarti urusan eksternal aman damai sentosa. Ada satu kejadian yang begitu membekas buat gue. Tentang salah satu kajian yang akan dibawa di Aksi Hari Tani, Kajian Perhutanan Sosial. Sejak awal, gue ini sudah menghubungi Kepala Departemen Kastrat BEM Fahutan terkait kolaborasi untuk kajian ini. Salah satu staf juga bahkan menghubungi untuk minta dikirim delegasi saja selaku perwakilan dari Kastrat E, mengingat kajian ini erat hubungannya dengan bidang keilmuwan kehutanan. Namun, karena satu dan lain hal, nggak bisa dipenuhi. Sampai singkat cerita, draft kajian Perhutanan Sosial yang gue buat sendirian (😊) akhirnya di-post setelah juga diterima di forum diskusi Barikade Tani (yang tanpa elemen Fahutan karena terus menerus engga bisa memenuhi).
Engga lama berselang, ternyata kajian ini dipermasalahkan oleh beberapa mahasiswa dari Forest Management Students Club (FMSC)/ himpunan profesi mahasiswa Manajemen Hutan IPB. Khususnya angkatan 52. Pada beberapa kondisi gue pribadi merasa ada hal-hal kurang enak yang kami dapati, apalagi buat gue, yang sudah menyusun draft kajian mulai dari kerangka bahkan sampai shortening link for open access, berulang kali memohon input dari sesama "mahasiswa pergerakan" dan "pejabat pergerakan kehutanan" itu sendiri namun kurang diindahkan, dan kemudian justru dipermasalahkan oleh "abang-abang" gue sendiri juga. Pada saat itu, gue bersyukur banget ada Bang Aris (Direktur Biro Bisnis dan Kemitraan) yang juga mahasiswa MNH 52 dan Bang Surya (Wapresma) yang juga MNH 51. Keduanya bisa menyadarkan gue bahwa hal-hal kayak gini ini wajar dan harus disikapi se-profesional mungkin.
Shortly, setelah kejadian ini, barulah BEM E (menyempatkan diri) menjembatani sekaligus menyelenggarakan kajian ulang soal Perhutanan Sosial ini. Di LPPU, Fahutan. Selesai tengah malam, nyaris setengah satu dini hari. [Dengan ini semua, bayangkan gimana gue enggak marah sama orator-orator Aksi Tugu Tani yang enggak mampu memosisikan diri sebagai corong atas kajian yang udah melewati sedemikian naik-turunnya? Baca lebih lanjut di sini].
Netizen Julid: Rapor Jokowi hingga Rilisan UGM
Nggak berhenti sampai di sana, masalah-masalah juga lahir dari komponen-komponen yang enggak terlibat langsung: publik. Apalagi publik dunia maya, alias netizen. Begitu banyak komentar-komentar, tulisan-tulisan lepas, serta gimmick tersebar di lini masa media sosial yang menyerang Kabinet Bara Muda khususnya bidang pergerakan. Terlebih akibat insiden "Rapor Merah Jokowi". Sebetulnya, ketika insiden itu terjadi, gue sedang melaksanakan yang namanya PUK (Praktik Umum Kehutanan) dan tepatnya sedang berada di Gunung Walat, Sukabumi. Gue istilahnya "enggak tau apa-apa", karena memang pertama tau ada kejadian tersebut bahkan dari salah satu snapgram teman--non Bara Muda. Bagian yang paling nggak mengenakkannya adalah, ketika temen-temen PUK (asprak sampai temen beda mess) 'nanyain' soal ini ke gue. Macem-macem gaya nanyanya. Dari yang betul-betul polos nanyain "Kenapa gitu, sih?" sampe omongan-omongan di belakang yang gue tau pembicaraan itu terhenti ketika gue lewat misalnya, atau ketika gue dikira udah tidur, pandangan-pandangan yang bagi gue 'agak beda' dari sebelum insiden itu, dan lain-lain. Gue literally sedih, merasa sendiri, dan bingung harus gimana karena gue juga belom dapet klarifikasi apa-apa. Meskipun, afterall gue akhirnya bisa ikut agenda klarifikasi resmi yang diselenggarakan pada malam tepat ketika sorenya gue pulang dari PUK. Bahkan gue masih bawa-bawa carrier di dalam SC (Students' Center).
[out of topic] Presma menyerahkan bundel kajian ke Mentan |
Meskipun klarifikasi udah dilayangkan, jelas publik nggak serta merta menerima. Mereka juga sama-sama menaikkan hashtag #MenolakLupa di tiap momen-momen panggung pergerakan mahasiswa. Banyak sekali asumsi-asumsi hingga tuduhan yang menyebutkan BEM KM IPB ini ditunggangi partai politik tertentu. Bahkan hari Selasa (27/11) lalu, gue dan beberapa teman iseng-iseng ngobrol sama Pak Dekan. Pada mulanya masih bahasan-bahasan general soal Kehutanan, dari gonjang-ganjing sawit, kondisi Perhutani saat ini, sampai ke persoalan leadership skill dan nyambunglah beliau 'curhat' pengalamannya sebagai Dirmawa IPB beberapa tahun yang lalu. Jelas sekali beliau pun mengasumsikan bahwa BEM KM memang sudah dibacking "warna" tertentu. Beberapa teman gue itu sontak langsung noleh ke gue kan. Tapi ya kemarin itu, tentu aja gue nggak langsung mencak-mencak depan bapaknya. Gue cuma diem dan play fair sebagai mahasiswa yang sedang minta ilmu di luar waktu kuliah. Bukan seorang pimpinan BEM KM yang sedang menuntut turunnya harga UKT.
Kalo ini sih momen ngobrol bareng dosen Fahutan soal Pak Wasis. |
Sejujurnya gue sendiri heran, kenapa banyak sekali yang mengira BEM itu pasti terafiliasi dengan salah satu partai politik, sebut saja dia Partai Kesayangan Syaikhu hehehe. Gue coba pikir-pikir lagi dengan segenap kejernihan kepala dan kepolosan bathin, kalau misalnya itu dikarenakan partai ini adalah bagian dari oposisi pemerintah hari ini, kenapa netizen enggak menduga kami terafiliasi dengan Partai Gerimis saja misalnya? Toh bahkan jelas-jelas saingan Bapak Johny Wepp sekarang berasal dari sana. Terus kenapa? Apa karena anak-anak BEM ini kebanyakan ikut mentoring dan liqo? Simpulan akhir gue berhenti di sana. Iya, mungkin netizen mengira demikian karena hal tersebut. Sayangnya, kebanyakan mereka-mereka ini nggak ngerti sebetulnya seperti apa hubungan antara pembinaan agama ini dengan aktivitas politiknya. Padahal keduanya adalah entitas berbeda. Namun, paradoksnya adalah, nggak sedikit juga gue menemukan temen-temen gue yang ikut 'mentoring' ini nggak paham tentang keterkaitannya. Ada salah satu tulisan yang gue rasa cukup adem tentang penjelasan ini: sila klik di sini (oleh Mojok).
Oke. Gini. Gue bersyukur sekali punya seorang ayah yang gemar membaca, enggak berada dalam kelompok mana pun, tapi mampu mencerdaskan gue tentang hal ini, dikombinasikan dengan didikan seorang ibu yang sangat menghargai pluralitas. Karena gue merasa hari ini seorang Rizka Nurul Afifa memiliki pikiran yang terbuka. Sehingga, sejak masa SMP (catat: gue sekolah di SMP negeri), gue sudah [cukup] bisa memahami bagaimana Islam berjalan di Indonesia, berikut dengan harokah-harokahnya (bukan ujub, gue ngomong gini biar kalian jadi lebih bisa nerima pandangan gue aja hahaha). Gue bisa memahami fokus masing-masing harokah, plus-minusnya, termasuk mitra-dakwahnya yang sering berseberangan. Ketika SMA gue sekolah di sekolah Islam, makin lebih mengerti dan gue justru merasa semakin terbuka. Dengan motto gue saat itu (karena membenci kondisi harokah yang sering ribut dan saling serang), harusnya mereka semua itu kolaborasi jadi satu. Yang satu ngurusin Undang-Undang, yang satu bangun sekolah dan rumah sakit, yang satu militer, yang satu ngurusin pertanian dll.
Sehingga ketika menjadi mahasiswa, gue mengikuti jejak Bapak yang enggan melabeli diri sebagai bagian dari apapun--tanpa jua membuat gue sebagai individu yang mendiskreditkan salah satu. Nah, bagian ini yang gue rasa miss di lingkungan gue berada. Gue melihat kebanyakan netizen ini too early too prejudice. Terlalu deduktif. Karena ketika diminta fakta-fakta atas tudingan-tudingan mereka bahwa Bara Muda terafiliasi parpol, mereka engga pernah bisa membuktikan. Gue, sebagai anak yang engga liqo, sekaligus anak BEM KM IPB, gue merasa tersinggung sekali dengan tudingan-tudingan demikian. Nyatanya, gue yang bergaul bersama teman-teman yang liqo bahkan yang non-muslim sekali pun di dalam organisasi ini, sama sekali engga pernah merasakan "nikmatnya" dibacking partai. Semua isu, kajian, tuntutan, murni dari hasil renungan bersama. Mana ada kami digerakkan oleh parpol-parpol tertentu. Aksi Tugu Tani kemaren aja duit gue defisit, njir.
And let's play fair, menteri-menteri Jak kemarin itu 'tempat' ngajinya beda-beda. Mana bisa mereka ngebawa kepentingan-kepentingan 'terselubung' atas nama BEM KM. Nggak cuma menteri, staf-stafnya pun beragam sekali. Dari yang liqo, sampai yang sholat itu nomor dua (kan yang pertama syahadat hehehe) semua ada di kabinet. Mana mau semua yang macem-macem tadi jenisnya, capek-capekan kerja untuk parpol ttt. Simple logic aja kan sebetulnya.
Kenangan notulensi Perencanaan Aksi Tugu Tani |
Kenangan aksi UU MD3 |
Gue itu kepengen melihat environtment gue ini lebih substantif. Soal liqo dianggap sebagai metode kaderisasi, biarlah itu menjadi urusan lain yang saat ini belom sampai kapasitas gue untuk membedahnya secara tegas. Tapi, ketika kita bicara soal organisasi kemahasiswaan, tolonglah jangan dicampur-marutkan. Karena pada kenyataannya memang engga ada yang pernah men-campur-marutkan. Hal-hal begini ini yang sering menyiksa batin gue.
Persis kejadian beberapa waktu lalu, soal rilisan UGM yang menyatakan menolak ikut serta aksi nasional dan mengkritisi habis-habisan kajian BEM SI--namun cukup mengapresiasi Kajian Isu Pertanian which was made by BEM KM IPB. Namun, pada beberapa tulisan di lini masa media sosial, (lagi-lagi dan mau engga mau) BEM KM IPB ikut keseret-seret lagi. Insiden Rapor Merah Jokowi yang sudah beres/klarifikasi pun ikut naik kembali. Bahkan IPB ikut dihujat-hujat "laprak selalu nyontek, sih". Gue sebagai mahasiswa yang justru lapraknya keseringan dicontekin orang, gimana nggak berkobar-kobar? Salah satu pengalaman yang--gue sebetulnya nyesel sih, yakni gue kepancing buat perang komentar di salah satu postingan yang di-post oleh seseorang yang ngakunya kakak tingkat BEM KM UGM dimana dalam tulisan itu beliau mendiskresitkan IPB. Padahal, meskipun BEM KM IPB bagian dari BEM SI, jelas-jelas rilisan UGM itu mengapresiasi kajian milik IPB. Kenapa menyesal? Karena ketika gue curhat ke salah seorang temen gue yang anak UGM, dia bilang:
"Ini tu nunjukkin kedewasaan seseorang menghadapi masalah".
Di titik itu gue langsung cooling down dan kembali menikmati cerahnya hari. Hahaha.
Akademi Pergerakan IPB
Huft. Capek ya bacanya? Isinya nggak jauh-jauh dari masalah-masalah-masalah. Konflik-konflik-konflik. Sebetulnya menjadi bagian pergerakan ada satu hal yang buat gue literally membahagiakan. Yakni API: Akademi Pergerakan IPB. API ini adalah program kerja dari Jaknas dimana intinya, kita bisa melahirkan sosok-sosok baru yang peduli pada pergerakan mahasiswa. Bagian membahagiakannya terletak di agenda puncaknya: Pelantikan di Gunung Bunder. Hahaha. Oke, oke, sebetulnya bagi gue membahagiakan karena bisa jalan-jalan ke gunung (meskipun bukan gunung beneran), ngelihat pinus-pinus tinggi menjulang, menghirup udara dingin, dan bisa ngobrol semalam suntuk ditemani bintang-bintang hahaha apasih ini.
Gue rasa akan wajar kalau momen API ini bukan sekadar momennya peserta diklat, tapi seluruh panitia dan relawan yang ikut kontribusi. Karena semuanya sama-sama baur dalam frame suka cita yang membekas dengan nilai-nilai. Meskipun gue yakin, diklat API cepat atau lembat akan butuh improvement kalau tidak menghendaki stagnansi. Hahaha ini kenapa lompat-lompat begini sih bahasan.
Momen survey Pelantikan API 1.0 |
Poin gue sebetulnya adalah, dibalik segala "drama-drama" kehidupan yang begitu menyiksa mental dan (berimbas pada) fisik, gue masih bisa banget menemukan kebahagiaan. Apalagi juga teman-temannya yang nyenengin, bisa diandalkan dan bisa saling rangkul. Mungkin gue akan sangat kangen momen-momen nongkrong di Tampomas bareng Aisyah dan Rania, momen jaga pos API bareng Kak Aridha dan Kak Firda, kontemplasi bareng Kak Dinda, Kak Wisnu, dll. Apalagi momen-momen menuju hari tani, ngebantu Bang Golbi bikin ogoh-ogoh (baca: orang-orangan sawah), momen saling hujat dengan Bang Jundy (yang sekarang sudah jadi Menko), momen-momen makrab pimpinan, momen-momen rapimjak, dan semua-semuanya yang kalo gue inget-inget sekarang cuma bikin senyum keharuan sendiri.
Menyerap Ilmu dari Para Guru
Well, gue berterima kasih banyak buat Kabinet Bara Muda yang (bener-bener) sudah menempa gue selama setahun kebelakang. Banyak sekali ilmu yang bisa gue ambil, gue petik, gue resapi. Terima kasih banyak khususnya buat Kak Alifda, untuk segala-galanya, yang udah ikhlas berjuang bareng sampai akhir masa bakti. Kepada Bang Qudsyi, yang lagi-lagi, gue gak pernah tau kapan beliau tidur, yang sudah dengan penuh tanggung jawab dan totalitas mendukung Jagrikom separah apapun kondisinya, terima kasih banyak, Bang! Juga kepada 'abang' saya di fakultas, Bang Surya, yang sudah banyak sekali membantu Rizka sampai hari ini. Kepada Dara dan Rania, sahabat-sahabat satu nasib gue yang InsyaAllah hari ini sudah mampu menentukan jalan juangnya sendiri-sendiri. Gue belajar banyak dari kalian berdua. Buat Aisyah, terima kasih buat semua kejulidan kita bareng-bareng yang sangat healing di masa-masa melelahkan. Nggak lupa terima kasih banyak untuk Bang Eko, andalan di segala susah sedih dan sudah baik hati sekali sama Jagrikom. Buat Syakir yang meskipun sering engga nyambung (hahaha) tapi selalu ada buat gue, buat Kak Alif, buat Jagrikom dan bahkan buat Bara Muda. Sesungguhnya engga ada kalimat yang lebih pas buat mengganti semua keikhlasan lo! Nggak lupa Kak Inay dan Kak Faiqoh, kakak-kakak seru di pimpinan yang sudah 'mau-maunya' main sama adik tingkat songong macam saya begini :")) Juga Kak Aridha, yang dari beliau gue belajar banyak soal gimana kita berperan dalam masalah orang. Mas Danu dengan segala kesabarannya dan gayanya yang selalu main cantik bikin gue nggak bisa berhenti terinspirasi. Kak Finna, Kak Nailah, yang begitu wonder women dan aku sangat iri. Dan astagaaaa banyak sekali. Semua-semuanya yang udah begitu baik menyelesaikan amanah ini secara terhormat.
Gue. Rania. Dara. |
Kak Alifda (momen studi banding ke Bandung) |
Sehingga....pada 20 November lalu, Bara Muda resmi menyudahi masa baktinya pada KM IPB. Dengan nilai akhir 81, terbilang "Sangat Memuaskan". Ketika Qudsyi-Surya memberikan pidatonya terakhir dan menyatakan "bicara sebagai mahasiswa umum", rasanya gue langsung merinding. Membayangkan betapa semuanya udah selesai. Segala kerusuhan, keriweuhan, konflik, dan termasuk masa-masa menyenangkan sebagai bagian dari kabinet ini udah selesai. Roda kepemimpinan pun berganti pemain, Dadan-Miqdad selaku presma-wapresma terpilih juga akhirnya resmi dilantik pada 20 November lalu.
Setelah tanggal tersebut, satu hal paling berat yang membebani kepala gue adalah: di sela-sela jeda kuliah atau di malam-malam suntuk, kemana lagi gue bisa (untuk sekadar) menyandarkan punggung? Sebab sekret bukan lagi milik Bara Muda.
Foto bersama sesaat setelah resmi menjadi mahasiswa umum. |
Setelah ini: Apa?
Selanjutnya apa? Beberapa teman menghubungi gue untuk meminta gue membantu terlibat disini-disitu (organisasi kemahasiswaan), tapi semuanya gue tolak dengan berat hati namun mantap. Kenapa? Sederhananya, gue ingin atmosfir baru. Gue ingin bisa lebih mobile kesana-kesini tanpa halangan printilan keorganisasian seperti ramen, ratek, rakor, LAT, SPTB, SPJ, konsul, apa lagi? Sebut semua hahaha. Bukan berarti semua itu buruk, tau kok gue pentingnya administrasi yang rapih. Gue juga ngerti kok ngerti ceramah-ceramah kepemimpinan dan pengembangan diri yang bilang pentingnya tukar pikiran serta konsep-konsep lari bareng lebih jauh. Tapi, ya tadi, ini lebih ke personal gue yang butuh atmosfir baru untuk mengeksplor diri. Butuh sesuatu yang engga terlalu sistemik. Semoga ini nggak berarti gue jahat dan egois ya.
Karena sampai sekarang pun, gue engga pernah kepikiran untuk fokus di akademik (semata), dimana IPK gue harus 4,0! (jelas-jelas udah nggak mungkin) Atau laprak gue nggak boleh terlambat lagi, atau harus menang ini-itu, lomba ini-itu, apapun yang mengangkat nama gue sendiri, gue sama sekali nggak berencana fokus kesana. Lantas apa yang gue fokuskan tahun ini? Banyak yang ngomong ke gue "Mustahil lo gabut, Riz!" dan yang bikin ngakak binti mirisnya lagi, ada yang nyeletuk ke gue intinya "Sayang Riz kalau lo lepas tahun ini, tahun depannya lagi lo gak bakal bisa maju jadi sesmen!". Ngakak karena yaa lucu ternyata gue dinilai sekaku itu dalam memetakan jalan hidup gue, dan miris karena yaa bisa jadi emang demikian society IPB sekarang, 1) Masih ada orang-orang yang mengambil posisi hari ini itu demi posisi yang lebih kedepannya, 2) Orang sebegitu 'besarnya' menaruh porsi penilaian karena trackrecord atau kalau gue mrepetin dikit biar berbumbu: hanya sebatas lama kerja. [dalem hati gue: syapaa juga yang tahun depan maju sesmen, presma kali ah. Hahaha].
Jadi, apa?
Gue ga akan membiarkan diri gue gabut, kok. Tenang aja. Karna produktif bukan milik pengurus ormawa semata. Ya kan? Gue akan sibuk dengan gaya lain. Gue ingin bisa lebih mendalami hal-hal yang gue minati/ senangi. Gue mau bebas datang ke diskusi-diskusi/ event-event yang gue suka semau gue tanpa harus mangkir dari rapim misalnya. Gue mau belajar bidang kehutanan lebih dalam, lebih tajam, (meminjam istilah CITES) dari mulai scientific authority sampai ke management authority-nya. Gue ingin bisa berperan betul buat kemajuan kehutanan bangsa dengan luasan hutan topfive ini. Toh, gue masih bisa ikut diskusi-diskusi publik yang dibuat BEM, kan? Gue masih bisa aksi, kan?
Memo dari Bang Surya |
Gue mau bisa lebih leluasa hadir di kegiatan-kegiatan donasi buku tanpa kepikiran SPTB hahaha. Dan banyak hal-hal sederhana lainnya. Gue mau baca lebih banyak buku, gue mau produce lebih banyak tulisan, gue mau nonton lebih banyak film, gue mau belajar lebih banyak resep masak. Gue juga mau bisa pro menggunakan ArcGIS dan mapping sebagai nilai tambah gue dalam dunia karir masa depan. Gue mau bisa kampanye lingkungan, gue mau ngelancarin ngejreng-ngejreng gitar, gue mau bisa lebih sering travel agar lebih bijaksana. Gue mau kembali rutin mengulang hafalan-hafalan gue (muroja'ah) yang sudah terlalu banyak menguap. Gue juga mau lebih perhatian ke keluarga, lebih sering menghubungi Ibu dan Bapak duluan, enggak akan lagi-lagi me-reject panggilan mereka, yang mana kesemua itu (bagi gue) akan susah gue maksimalkan ketika ada amanah di kaki gue yang kemana pun gue melangkah itu akan selalu gue bawa.
Mungkin juga karena age hits me like uh. Gue sadar betul, nanti (jika Allah masih menghendaki) pun ketika gue dewasa, bermasyarakat, dan berkeluarga, gue enggak akan (dan gak mau) pulang kerja jam 1 malem, jam 11 malem. Nggak akan. Gue pasti pada ujungnya juga punya prioritas menjaga 'keluarga' gue. Gue yang harus merawat orang tua gue sendiri di masa tuanya, bukan "gue yang membayar orang" merawat mereka. Gue harus yang paling dominan mendidik anak-anak gue, bukan orang lain termasuk pembantu. Sedangkan kapasitas gue sekarang masih sangat jauh untuk bisa kesana, sedangkan waktu terlalu cepat buat dirasain. Tiba-tiba aja gue udah semester lima gini.
Dan untuk saat ini gue merasa, cara terbaik gue nge-fullfill itu semua adalah dengan menjadi "aktivis serabutan" seperti yang gue jelaskan sebelumnya. Menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dari sebanyak-banyaknya latar belakang. Pada awal-awal pemikiran-pemikiran ini muncul, gue nggak berhenti-henti nge-blame diri gue sendiri karena egois, dan nggak punya kepekaan sosial yang tinggi. Tapi lambat laun, gue yang paling tau diri gue, bahwa ini bukan sebuah bentuk egoisme. Tapi lebih ke gimana gue menyusun track buat gue untuk bisa berdampak pada hal-hal di luar diri gue dengan gaya gue.
***
Harusnya tulisan sepanjang ini wajarnya ditutup dengan closing statement yang ciamik. Tapi, apalah daya gue sedang engga punya ending yang nyikat. Tanpa korelasi apapun dengan tulisan yang ber-season-season ini, gue kepengen bilang bahwa,
it is aways OK not to be okay, not feeling good, being hurt, dissapointed, and any other bad conditions you faced whatever you named it. Karena dengan ngerasain itu semua, itu pertanda kalo kita ini masih manusia. Kucing, petir atau batu nggak pernah memiliki itu semua.
Maka, bersyukurlah karena kita masih manusia
maksimalkan karena kita sudah diizinkan menjadi manusia
dan ikhlaskan karena kita hanyalah manusia.
Sekian.
30 November 2018 (5.46 pm)
Rizka Nurul Afifa
ABOUT THE AUTHOR
Hai kenalin! Gue Rizka, sekarang mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB. Gue sukanya banyak, salah satunya adalah nulis dan makin kesini gue makin menyadari ada banyak hal dalam hidup ini yang kadang perlu dikritisi, didukung, atau disebarluaskan. Makanya blog adalah tempat yang gue rasa tepat untuk menyalurkan semua itu. Sambil sesekali bisa jadi tempat gue berbagi cerita. Salam kenal dan selamat membaca!
wow
ReplyDeletehttps://saglamproxy.com
ReplyDeletemetin2 proxy
proxy satın al
knight online proxy
mobil proxy satın al
42R