Bismillahirrohmanirrohiim.
Sebenernya gue agak takut sendiri nulis tema ini, tapi entahlah, rasanya pengen
berbagi aja, barangkali alhamdulillah kalo bisa menyentuh kalbu-kalbu kita
bersama. Belakangan ini gue banyak banget dapet kabar duka. Beberapa waktu lalu
teman satu angkatan dari FKH, kemudian seorang kakak tingkat di FPIK, kemudian
ibunda dan ayahanda dua orang teman di kelas, kemudian disusul dengan kabar
dari dunia entertainment—as we all know, Ashraf Sinclair, kemudian kakak
tingkat di FEM, seorang adik tingkat di FATETA, dan baru hari ini tadi, juga
ayahanda dari seorang teman di kelas serta seorang pegawai (staff) IPB yang tinggal
dekat rumah berpulang ke rahmatulloh.
Innalillahi
wa inna ilaihirojiuun.
Merinding
rasanya tiap gue dengar itu semua. Kesemuanya pergi dalam usia yang masih
terbilang muda. Ashraf, beliau masih muda, aktif dan bahkan gemar berolahraga,
siapa yang sangka Allah timpakan serangan jantung sebagai penghabis usianya?
Adik kelas gue yang dari FATETA itu, wafat karena kecelakaan tunggal di Cangkurawok—daerah
yang mungkin sering kita (warga IPB) sepelekan karena dekatnya jarak. Kakak
tingkat di FEM, menurut salah seorang teman juga bahkan sama sekali nggak punya
riwayat sakit kronis apa pun, mendadak aja ditemukan ngga sadarkan diri di
kamar kos-nya. Ya Allah...
Gue
jadi keinget kata-kata Nuril ketika kita lagi deep talk.
“Ka, kapan sih masa
depan menurut standar lu?”
Gue langsung diam. Semacam tersedot ke ruang lima
dimensi atau apa, kusut tapi lembut, yang bikin gue jadi mikir sekali lagi: kita ini sering banget mati-matian memperjuangkan “masa depan”, padahal masa
depan itu belom tentu kita dapatkan. Sedangkan kematian yang sudah pasti akan kita
gapai, sering banget kita lalai. Gue bener-bener merinding. Bukankah
mereka-mereka yang tadi gue sebut juga merupakan manusia-manusia yang di masa
hidupnya punya mimpi, punya cita-cita, punya agenda-agenda yang belum tuntas
diwujudkan, punya harapan-harapan yang hendak direalisasikan, punya
khayalan-khayalan yang begitu ingin dijalankan? Tapi nyatanya, Izro’il datang
tanpa ketuk pintu, ia bisa datang dari tempat-tempat yang ga terduga, di
waktu-waktu yang ngga terduga, dengan cara-cara yang ngga terduga pula. Bagaikan—wushhh—dan seketika seseorang telah hilang, lenyap. Usai. Jatuh tempo. Tanpa pernah peduli apa-apa saja yang belum diwujudkan,
apa-apa saja yang belum terselesaikan.
Pernah
kan denger nasihat: kejarlah duniamu seakan kau hidup selamanya, dan kejarlah
akhiratmu seakan kau mati esok hari?
Nasihat
itu—lepas dari kesahihannya yang entahlah it’s not my capacity to evaluate—bila kita pandang dari “gelas setengah penuh”, seyogyanya membuat kita sadar, tatkala kita dihadapkan dengan masalah-masalah duniawi, chill aja karena kita
masih punya besok, besok, besok, dan terusss sampai selamanya, cukup ikhtiar
untuk sekarang (living in present), dan pasrahkan. Ketika skripsi ngga
beres-beres, ketika ditipu rekan kerja sendiri, ketika nyari kerja susahnya
subhanalloh, ketika jodoh ngga dateng-dateng, ketika dihujat-hujat sama orang
yang ngga kenal kita bahkan, ketika gaji pas-pasan, ketika anak susah diatur,
ketika rumah bocor mulu, ketika di-PHK di puncak karir, ketika aaarghh jutaan
masalah manusia-manusia di bumi ini; tenanglah. Yakin ada Allah, selesaikan
perlahan-lahan. Jangan justru melenakan kita seakan-akan seluruh kehidupan kita hanyalah tentang
hal-hal itu tadi. Karena sehari lima kali minimal kita telah bersaksi, inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati...lillahirobbil'alamii. Jangan sampai hal-hal duniawi membuat kita stres berlebihan, apalagi sampai di tahap menafikkan kuasa Allah.
Naudzubillah min dzalik.
Sedangkan
urusan akhirat, kita justru engga boleh chill karena ngga pernah ada yang
jamin kita besok masih ada. Brrr, tema ini bikin merinding banget, ya Allah. Ketika
kita mengerti bahwa urusan akhirat juga mencakup persoalan muamalah, siyasah
dan sebagainya, insyaAllah nasihat tadi itu ngga akan kita anggap sebagai suatu
legitimasi untuk bisa procastinating hal-hal baik. Ngga akan kita berpikir,
“Yaudahlah nyari kerjanya besok-besok lagi aja ah, toh hidup selamanya ini”.
Nggak. Karena kita paham bahwa (misalnya) menafkahi keluarga adalah kewajiban
seorang ayah. Sehingga seyogyanya si Ayah ini berpikir, ketika besok ia tiada,
apa jawaban yang bisa ia berikan di hadapan Allah ketika dimintai
pertanggungjawaban atas statusnya sebagai seorang ayah?