art of life

I share

  • Home
  • Ask me
  • Tweet me
  • Watch me
Home Archive for 2020

Ketika nyuci baju tadi, mendadak rasanya baskom jadi kayak Pensieve-nya Harry Potter. Menayangkan memori-memori masa lalu, sederhana, singkat-singkat, dan cenderung lompat-lompat tapi bisa ngubah suasana hati.

Aku ngeliat diriku sendiri di beberapa memori itu dan timbul rasa penyesalan-penyesalan. Bukan sesuatu yang besar, tapi ya tadi, sederhana, dan singkat-singkat: penyesalan-penyesalan kecil.

Things I should not do.

Words I should not say.

Sentences I should not write.

Options I should not choose.

Ada banyak sekali hal-hal yang setelah sekarang aku pikir-pikir lagi, cuma bikin aku kelihatan bodoh, menyedihkan, dan sok tahu. Malu, jijik rasanya sama diri sendiri.

Tadi sempat mikir, apa lebih baik diam aja ya besok-besok? Totally let the river flow. Pasti penyesalan-penyesalan model begini akan jauh terminimalisir.

Kemudian Pensieve-nya hilang, aku tersentak. Mungkin kalau tanpa penyesalan-penyesalan kecil itu, aku akan terus jadi bodoh, menyedihkan, dan sok tahu.

Jadi, apa mau dikata?



26 September 2020

Sebelum jam 7 pagi.

Maret, April, Mei, Juni, Juli, dan sekarang Agustus udah mau selesai. Enam bulan. Enam bulan kita semua diplonco sama 2020. Rasanya banyak banget kejadian yang silih berganti menuhin kepala dan hati tapi semua warnanya sama: merah tua, hijau tua, biru tua dan apapun-tua lainnya. Warna-warni, tapi kesannya sama: gelap.
Ada rasa berduka ditinggal kerabat dan relatif. Bahkan ketika sekadar membaca grafik-grafik.
Ada rasa prihatin kala mendengar cerita-cerita dari lorong-lorong rumah sakit.
Ada rasa sedih membaca perjuangan tenaga kesehatan, dokter, dan seluruh pejuang baris depan.
Ada rasa takut menyaksikan orangtua yang harus berjuang di tengah kondisi penuh ancaman.
Ada rasa gamang menatap masa depan, bila kondisi normal saja kecewa sering menyergap, apalagi saat-saat ini?
Ada rasa rindu melihat teman-teman dari social media, berharap bisa kembali bertemu dan berbagi cerita, tertawa maupun tersedu sedan bersama.
Ada rasa geram mendengar kebijakan-kebijakan yang jauh dari kata menyelamatkan.
Ada rasa hancur mengetahui mereka yang bingung bulan depan makan dari mana (apa lagi yang besok makan dari mana)
Ada rasa kesal melihat jalanan yang riuh sesak dipenuhi muda-mudi yang merasa hanya tua pembunuh mereka.
Ada rasa tertekan melihat kalender, teringat usia yang tak lagi remaja. Sedang sumbangsih buat diri sendiri saja masih nihil, boro-boro memberi arti buat negeri.
Ada rasa heran melihat kelompok-kelompok dengan landasan berpikir yang berkebalikan dengan prinsip-prinsip hidup.
Ada rasa sakit ketika harus menghadapi mulut-mulut tajam yang menusuk.
Ada rasa sesak tiap me-recall memori melancong ke sana kemari, entah kapan bisa kembali.
Ada rasa iri melihat kehidupan orang lain dengan segenggam privilese-nya masing-masing.
Ada rasa tercekik menghadapi privasi yang terkungkung.
Ada rasa ciut kala mengetahui pengorbanan-pengorbanan yang dipersembahkan oleh orang lain. Merasa diri belum cukup membuat hidup layak dihidupi.
etcetera.

Tapi, bukankah hidup itu soal kesan yang dibangun?

Tiap kali ingin merutuki nasib, ada aja yang mengingatkan bahwa warna-warna itu juga dialami oleh jutaan manusia lainnya. Bahkan mungkin milyaran manusia lainnya. Ada yang didominasi warna biru gelap atau sedih menghadapi ini semua. Ada yang didominasi warna merah gelap atau penuh amarah menjalani kondisi-kondisi ini.

Semua warna-warna gelap tadi valid untuk dirasakan. Apapun warna gelap yang memberatkan pikiran dan perasaan, seenggaknya, masih ada jeda-jeda kecil yang bikin bersyukur masih diberi hidup.
Ada keluarga yang lengkap dengan segala harmoninya (kadang sumbang kadang indah). Ada kucing yang menggemaskan tiap saat minta dielus. Ada makanan enak yang bisa setiap hari disantap. Ada air yang bikin ngerasa aman kapanpun kebelet eek. Ada pohon pelangas di halaman yang jadi rumahnya burung-burung kecil tapi berisik. Ada internet yang masih bisa membantu cari ilmu (meski sebagian cuma modal ikut-ikutan dan engga betulan terserap). Ada game-game yang masih belum bisa kita taklukan. Ada netflix untuk nonton film-film estetik seperti Only Yesterday. Ada banyak bacaan yang bisa sejenak bikin lupa warna-warna gelap di hari kita (membaca kisah gelap pun kadang bisa menguatkan, kok). Ada lantai kotor yang harus disapu dan bunga yang harus disiram: olahraga alami karena bikin keringetan. Ada kipas angin yang bisa bikin suara kita ber-vibra kalo nyanyi. Ada kertas dan kuas buat sejenak belaga artsy hehe.
etcetera.

Jeda-jeda kecil tiap orang juga beda, tapi pasti ada. Kalau belum ketemu, coba kontemplasi, you'll find some. Everyone is facing uncertainties. But everyone also has the opportunity to leave a different impression on it.
pinterest
Di usia segini, perihal mencintai, baik itu afeksi, afirmasi atau bahkan intimasi, semuanya merupakan hal-hal yg mustahil kita pungkiri.

Jauh dekat, sering jarang, teknis filosofis, pasti tubuh tetap meminta diisi perihal-perihal tadi.

Tapi aku enggan ketika itu semua nyatanya justru memadamkan api-api lain di dalam diri. Menyesatkan kita jadi hilang kendali, dalam rangka mengejar mimpi-mimpi dan kontribusi. Atau sekadar bersikap kritis buat negeri.

Cinta itu seyogyanya menguatkan pribadi.
Dulu hanya mampu berjalan, maka dengan cinta harus bisa berlari.
Dulu hanya mampu melisankan narasi, maka dengan cinta harusnya bisa lantang berorasi.
Dulu hanya mampu memproduksi, maka dengan cinta haruslah bisa memberi arti.

Tidak ada cinta yang justru mengkerdilkan kualitas sendiri, maupun menyengaja-rendahkan kualifikasi hanya biar tidak malam mingguan sendiri.

Aku ingin cinta yang bisa terus meneguhkan pendirian, meluhurkan niatan-niatan, dan membesarkan harapan.
Aku ingin cinta yang di tiap warnanya, menjauhkanku pula dari segala tekanan, ancaman, atau teror tiada berkesudahan.
Aku ingin cinta yang bisa memayungiku dengan rasa aman, penuh dukungan, serta saling memberi masukan.

Ini semua bukan pula kutulis dengan maksud menyampaikan tuntutan-tuntutan, apalagi sindiran-sindiran. Hanya agar kita terus berpegang teguh pada ingatan:

betapa indahnya cinta, yang di kepala sejuk menenangkan, sedang di hati hangat menentramkan.
Setelah berbulan-bulan bergelut dengan proposal penelitian, di"tempa" di kolokium oleh DPS dan segudang drama-drama lainnya, akhirnya 12 Maret 2020 kemarin, gue dan keempat teman seperbimbingan, yakni Rakha, Refi, Salma dan Nurai berangkat juga ke lapangan buat ambil data. Kita kumpul di Node X Fahutan IPB jam 8 pagi (lewat-lewat juga sih sebenernya), langsung off to Bogor train station. Naik KRL ke Pasar Senen. Makan siang soto pinggir jalan lima belas rebuan, habis itu jam 3 sore meluncur ke Surabaya. Sepanjang perjalanan gue ditemani oleh Netflix: Big Dreams, Small Spaces. Nyeritain tentang gimana orang-orang Eropa "taking care" their gardens. Asli deh makin kepengen punya lahan yang bisa ditanemi sendiri, sayuran, buah-buahan, taneman hias huhuhuhu. Long story short, dini hari kita nyampe di Stasiun Pasar Turi Surabaya. It was my very first time to step on East Java by the way. Keluar dari stasiun, kita nyari GoCar buat pindah ke Stasiun Gubeng untuk melanjutkan perjalanan (kereta lagi) ke Banyuwangi. Kita berangkat Kamis pagi dari Bogor ya, sampe di Balai Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi tepat jam 12 siang hari Jumat-nya. Sungguh. Perjalanan. Yang. Sangat. Panjang. :")
Di PSE Jakarta (Nurai, Salma, Refi, Rizka, Rakha)
Banyuwangi ternyata, puanas rek :") Gerah banget asli. Rasanya gue kepengen jemurin baju-baju orang Dramaga di Banyuwangi. Kesian orang-orang Dramaga baju lembab mulu gegara hujan ga berkesudahan layaknya drama percintaan--bukan aku. Tiga malam di Banyuwangi, kami menginap di rumah dinas salah satu pejabat TNAP di Jl. A Yani karena kebetulan juga sedang kosong. Yang menarik selama di Banyuwangi kota ini adalah, kulinernya. Alhamdulillah seenggaknya gue udah nyobain nasi tempong dua kali, tahu lontong, lontong kare, dan pecel ikan. Uenaaakk e pooooolll. Cuma ada satu yang zonk, pas nyobain nasi tempong pertama kali, sumpah. Pedes. Parah. Gakuat. Lidah kebakarrrrrr. Berita baiknya, harganya cuma 6 ribu rupiah. 6 ribu coooooyyy. Heran sih gue dari mana itu segitu dapet untungnya. Hahahaha. Kacau. 
Yg lain mesen Tahu Lontong, gue Lontong Kare, tapi gue ngicip banyak Tahu Lontong mereka wkwkwkw.
Nasi Tempong Rp6000 yang pedesnya bikin takbir terus-terusan.
Ini wujud Nadi Tempong Bedho Dewe tadi.
Pecel pinggir jalan.
Pecel yang gue pesen.
Well, beberapa hari yang lalu gue sama Nanda main ke Botani Mart. Sebenernya udah lama gue pengen main kesana. Karena yaa belakangan gue lagi demen aja gitu mengkonsumsi yang alami alami wkwk. As simple as rasanya sayang, gue di kampus dapet mata kuliah KTO (Konservasi Tumbuhan Obat), belajar manfaat-manfaat herbal dan perannya dalam memerangi global diseases (nanti kapan-kapan gue cerita khusus soal ini deh, asli seru banget ngebahas pondasi-pondasi filosofisnya!), tapi engga pernah gue terapkan buat diri sendiri. Yaaa itung-itung mulai kecil-kecilan menghabitkan hal baik gitude.

Akhir tahun kemaren gue ceritanya purchase teh jati belanda sama teh sirsak di Serambi Botani. Harganya? Iya mahal :') Sampe seorang teman bilang, kalau ternyata barang-barang di Serambi Botani itu juga barang-barang yang dijual di Botani Mart. Tapi harga-harga di Serambi Botani bisa jauh lebih mahal karena pake cap "Serambi Botani" dan sewa booth mahal wkwkw. For you who don't know yet, Serambi Botani itu salah satu booth di Botani Square yang menjual produk-produk herbal/organik. Sedangkan Botani Mart, serupa, tapi lokasinya di Dramaga, dan bentuknya bukan booth indoor gitu aja, karena menjual nggak cuma produk akhir, tapi termasuk bibit segala macem. Baik Serambi Botani maupun Botani Mart yaa keduanya sama-sama bentukan IPB.
Sekilas pandang

Nah, kebetulannya kemarin itu Nanda juga ternyata lagi butuh mengkonsumsi Mengkudu, walhasil kita berdua nyoba nyari ke Botani Mart. Kesan gue pertama masuk, inspired. Wkwkwkw. Duh maaf ya, emang dasar anaknya gampang terbawa suasana hahaha.

Overall, tempatnya bagus, cuma masih kurang aja pengembangannya. Kayak, ternyata di sana masih banyak rak-rak yang kosong (habis dan ngga ada stok). Di sana juga halamannya luas, terus ada semacem ruang terbuka gitu bisa buat tempat makan. Padahal potensinya bagus banget, bisa buat resto sekaligus wisata, gue ngebayangin itu di sana bisa buat destinasi eduekowisata keluarga. Nyobain makanan-makanan organik, belajar, nikmatin yang ijo-ijo, dapet sehat lagi. Kurang banyak aja nanem pohonnya, biar iklim mikronya semakin dapet. Fufufu. Kan something banget gasih rasanya ada kaya gituan di tengah-tengah Dramaga yang sedemikian menguras emosi....


Bismillahirrohmanirrohiim. Sebenernya gue agak takut sendiri nulis tema ini, tapi entahlah, rasanya pengen berbagi aja, barangkali alhamdulillah kalo bisa menyentuh kalbu-kalbu kita bersama. Belakangan ini gue banyak banget dapet kabar duka. Beberapa waktu lalu teman satu angkatan dari FKH, kemudian seorang kakak tingkat di FPIK, kemudian ibunda dan ayahanda dua orang teman di kelas, kemudian disusul dengan kabar dari dunia entertainment—as we all know, Ashraf Sinclair, kemudian kakak tingkat di FEM, seorang adik tingkat di FATETA, dan baru hari ini tadi, juga ayahanda dari seorang teman di kelas serta seorang pegawai (staff) IPB yang tinggal dekat rumah berpulang ke rahmatulloh.

Innalillahi wa inna ilaihirojiuun.

Merinding rasanya tiap gue dengar itu semua. Kesemuanya pergi dalam usia yang masih terbilang muda. Ashraf, beliau masih muda, aktif dan bahkan gemar berolahraga, siapa yang sangka Allah timpakan serangan jantung sebagai penghabis usianya? Adik kelas gue yang dari FATETA itu, wafat karena kecelakaan tunggal di Cangkurawok—daerah yang mungkin sering kita (warga IPB) sepelekan karena dekatnya jarak. Kakak tingkat di FEM, menurut salah seorang teman juga bahkan sama sekali nggak punya riwayat sakit kronis apa pun, mendadak aja ditemukan ngga sadarkan diri di kamar kos-nya. Ya Allah...

Gue jadi keinget kata-kata Nuril ketika kita lagi deep talk. 
“Ka, kapan sih ­masa depan menurut standar lu?”
Gue langsung diam. Semacam tersedot ke ruang lima dimensi atau apa, kusut tapi lembut, yang bikin gue jadi mikir sekali lagi: kita ini sering banget mati-matian memperjuangkan “masa depan”, padahal masa depan itu belom tentu kita dapatkan. Sedangkan kematian yang sudah pasti akan kita gapai, sering banget kita lalai. Gue bener-bener merinding. Bukankah mereka-mereka yang tadi gue sebut juga merupakan manusia-manusia yang di masa hidupnya punya mimpi, punya cita-cita, punya agenda-agenda yang belum tuntas diwujudkan, punya harapan-harapan yang hendak direalisasikan, punya khayalan-khayalan yang begitu ingin dijalankan? Tapi nyatanya, Izro’il datang tanpa ketuk pintu, ia bisa datang dari tempat-tempat yang ga terduga, di waktu-waktu yang ngga terduga, dengan cara-cara yang ngga terduga pula. Bagaikan—wushhh—dan seketika seseorang telah hilang, lenyap. Usai. Jatuh tempo. Tanpa pernah peduli apa-apa saja yang belum diwujudkan, apa-apa saja yang belum terselesaikan.

Pernah kan denger nasihat: kejarlah duniamu seakan kau hidup selamanya, dan kejarlah akhiratmu seakan kau mati esok hari?

Nasihat itu—lepas dari kesahihannya yang entahlah it’s not my capacity to evaluate—bila kita pandang dari “gelas setengah penuh”, seyogyanya membuat kita sadar, tatkala kita dihadapkan dengan masalah-masalah duniawi, chill aja karena kita masih punya besok, besok, besok, dan terusss sampai selamanya, cukup ikhtiar untuk sekarang (living in present), dan pasrahkan. Ketika skripsi ngga beres-beres, ketika ditipu rekan kerja sendiri, ketika nyari kerja susahnya subhanalloh, ketika jodoh ngga dateng-dateng, ketika dihujat-hujat sama orang yang ngga kenal kita bahkan, ketika gaji pas-pasan, ketika anak susah diatur, ketika rumah bocor mulu, ketika di-PHK di puncak karir, ketika aaarghh jutaan masalah manusia-manusia di bumi ini; tenanglah. Yakin ada Allah, selesaikan perlahan-lahan. Jangan justru melenakan kita seakan-akan seluruh kehidupan kita hanyalah tentang hal-hal itu tadi. Karena sehari lima kali minimal kita telah bersaksi, inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati...lillahirobbil'alamii. Jangan sampai hal-hal duniawi membuat kita stres berlebihan, apalagi sampai di tahap menafikkan kuasa Allah. Naudzubillah min dzalik.

Sedangkan urusan akhirat, kita justru engga boleh chill karena ngga pernah ada yang jamin kita besok masih ada. Brrr, tema ini bikin merinding banget, ya Allah. Ketika kita mengerti bahwa urusan akhirat juga mencakup persoalan muamalah, siyasah dan sebagainya, insyaAllah nasihat tadi itu ngga akan kita anggap sebagai suatu legitimasi untuk bisa procastinating hal-hal baik. Ngga akan kita berpikir, “Yaudahlah nyari kerjanya besok-besok lagi aja ah, toh hidup selamanya ini”. Nggak. Karena kita paham bahwa (misalnya) menafkahi keluarga adalah kewajiban seorang ayah. Sehingga seyogyanya si Ayah ini berpikir, ketika besok ia tiada, apa jawaban yang bisa ia berikan di hadapan Allah ketika dimintai pertanggungjawaban atas statusnya sebagai seorang ayah?
Beberapa waktu yang lalu gue dan beberapa teman (Adin, Imar, Fitri, Aas, dan Robeth) had some Pempek party (Imar yg bawain) and we ended up discussing all bach thesis stuff. Dan ada satu point dalam obrolan malam itu yang kemudian gue post di instastory, dan sekarang mau gue abadikan di blog. Begini:

Highlighted session:

Biasanya kita dari SD tu menghadapi hukum yg udah pasti: asal kita kerja keras, belajar yg rajin, ngurangin main sore-sore, pasti kita bisa ranking, nilai UN tinggi, masuk sekolah favorit. Cyclical.

Sedangkan sekarang kita mulai dihadapkan sama hukum-hukum realistis: bahwa kerja keras aja ngga cukup, ada perkara nasib di sana. Invisible hand of God. Sesuatu yg udah di luar kuasa kita buat atur-atur. Lihat kanan, kok dia bisa semudah itu ya, padahal aku yg udh lebih keras berjuang, lihat kiri, ya ampun berat banget perjuangannya, bersyukur deh bebanku ngga segitunya.
Pempek party LOL
Engga ada yg bisa disalahin, engga ada yg bisa direndahin, udah jalannya aja begitu. Mulai kerasa aja gitu lo, kayak ya habis ini: dpt kerja dimana, nikah sm siapa dan kapan, megang jabatan apa, gaji berapa, anak gimana dan seterusnya dan seterusnya, adalah perkara nasib. Bukan berarti yg terlihat "kecil" pasti dulu malas berjuang. Bukan berarti yg terlihat "besar" pasti dulu penuh luka darah dan air mata. Jalannya aja yang udah kayak gitu. Semua tentu ikhtiar, pada porsinya masing-masing. Kalimat-kalimat begini bukan legitimasi untuk pasrah, usaha mah ya harus lah.

Cuma apa ya, biar lebih ikhlas aja ngejalani apa-apa yang udh disiapkan khusus buat kita pribadi. Baik, buruk, lancar, maupun (punten) kampay, semuanya bisa jadi cerita. Seberantakan apapun kita hari ini, entar juga beres-beres kok. Enjoy😎

Tempat segala pertempuran (setelah LSI)
Subscribe to: Posts ( Atom )

About Me

My photo
Rizka Nurul Afifa
wide-eyed wanderer that easily enchanted.
View my complete profile

Visitors

Friends

Latest Comments

Blog Archive

  • ▼  2020 (7)
    • ▼  September (1)
      • Penyesalan-Penyesalan Kecil
    • ►  August (1)
      • Everyone is facing uncertainties.
    • ►  May (1)
      • intermezo
    • ►  March (1)
      • Penelitian #1: Akhirnya Berangkat
    • ►  February (3)
      • Curhat Soal Kebun: Inspirasi dari Botani Mart
      • Perenungan-Perenungan
      • Pempek Party
  • ►  2019 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2018 (13)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (2)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (2)
    • ►  June (2)
  • ►  2017 (12)
    • ►  August (1)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  April (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2016 (7)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2015 (16)
    • ►  November (1)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  June (4)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2014 (23)
    • ►  December (2)
    • ►  November (1)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (4)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2013 (32)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  July (5)
    • ►  June (5)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2012 (37)
    • ►  December (6)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  May (1)
    • ►  April (7)
    • ►  March (6)
    • ►  February (6)
    • ►  January (7)
  • ►  2011 (48)
    • ►  December (21)
    • ►  November (11)
    • ►  October (6)
    • ►  September (2)
    • ►  June (8)
Rizka Nurul Afifa. Powered by Blogger.

Popular

  • Arti NIM, Daftar Fakultas, Rincian Cluster dan Mata Kuliah Mahasiswa PPKU alias TPB di IPB
    Ngomong-ngomong soal mahasiswa baru, pasti kita semua setuju sebagian besar dari ‘mereka’ adalah anak-anak fresh graduate (from high s...
  • Fowkes.
    So today I decided to say good bye to instagram. For a year (perhaps). Sebenernya engga ada alasan khusus. Waktu UAS kemaren udah sempet ny...
  • Resolusi Tahun Baru, Lagi
    Jujur aja, rasanya bosen banget menghadapi tahun baru yang itu-itu aja. Bukan, bukan karena setiap tahun baru aku selalu di rumah. Itu mah ...
  • Cara Mengetahui Stalker Twitter dan Facebook
    Yeeyhaaa! Blogger kempeng ini balik! Em, kali ini gue mau ngeshare ilmu aja,hueheh. Setelah sekian lama engga ngecheck stalker, semalem gue...
  • Islamic Civilization Conference at Sentul International Convention Center
    “SICC, make some noiiisseeeeee!” Begitulah biasanya guncangan yang terdengar dari gedung SICC alias Sentul International Convention Cent...

Instagram

Categories

ART (46) Cerpen (7) Class (18) Events (40) Film (26) From my eyes (78) IPB (19) Inspiratif (47) Islami (19) Japan (2) Learn (56) News (25) Novel (4) Pramuka (20) Spirit (67) Story (20)



Search

Copyright 2014 art of life.
Designed by OddThemes